Sabtu, 21 Februari 2015

MAKALAH PERSAMAAN HAK DALAM MEMPEROLEH HAK ATAS TANAH

MAKALAH PERSAMAAN HAK DALAM MEMPEROLEH HAK ATAS TANAH
                                                            BAB I
                                                 PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah.
Islam sebagai sebuah agama yang rahmatan lil alamin telah melarang yang namanya diskriminasi terhadap manusia di muka bumi ini. Semua manusia dilahirkan sama dalam sudut pandang agama islam. Tidak ada manusia yang diciptakan Allah langsung menjadi kuat dan hebat seperti penguasa dan bahkan prestasi yang mengagumkan tanpa adanya proses . Islam berkali-kali menegaskan dalam Al.Quran tengtang larangan berbuat diskriminasi, dan manusia mestinya berbuat adil terhadap sesamanya bukannya diskriminasi.
Dalam Al.Quran telah ditegaskan tengtang larangan berbuat diskriminasi terhadap sesama manusia.
Penegasan pertama dapat kita lihat dalam Al.Quran pada surah Al.Maidah:8.
‘Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Penegasan kedua dapat kita lihat dalam Al.Quran pada surah:
An Nahl : 90.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Dalam proses perkembangan penegakan hukum di Indonesia kita mengetahui bahwa banyak permasalahan yang terjadi didalam masyarakat. Proses penegakan hukum yang terkadang berjalan tertatih-tatih, dan tidak sesuai dengan semestinya. Harapan dan cita-cita hukum agar tercapainya keadilan itu seolah hanya mimpi belaka. Sedangkan dalam pancasila, yang merupakan falsafah berbangsa dan bernegara kita dan juga juga sebagai  dasar negara Republik Indonesia mempertegas makna akan penerapan persamaan hak dalam memperoleh hak atas tanah dalam masyarakat, yang dinyatakan dalam sila kelima (5): Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata Keadilan disini penulis memberikan pemaknaan yakni: tidak memihak, tidak berat sebelah, dan tidak melakukan pembedaan perlakuan (diskriminasi).
Dalam UUD 1945 mengatakan, Semua warga Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan seperti tercantum dalam Pasal 27 ayat 1, Bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannnya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sehingga tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, Baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
UUPA dalam Pasal 9 ayat 2 mencantumkan ketentuan adanya persamaan hak dari laki-laki dan perempuan. Selain itu tiap-tiap WNI mempunyai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, Sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 kita sebagai berikut, “ Tiap-tiap waraga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Asas non diskriminasi juga diatur dalam pasal 21 UUPA & Pasal 27 UUD 1945 : Setiap WNI sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung  tinggi  hukum dan pemerintahan tersebut.
Aturan hukum di atas seolah menjadi eksisistensi semantik belaka dalam tataran UU. Banyak aturan yang dapat kita lihat dalam bentuk UU, akan tetapi tetap ada pembedaan perlakuan kepemilikan hak atas tanah dalam masyrakat. Inilah kesenjangan yang terjadi. Hukum tidak lagi mampu menjamin keadilan dan kesejahtraan masyarakat. 
Tapi kenapa kemudian banyak terjadi diskriminasi sosial, khususnya kepemilikan hak atas tanah ? Antara Masyarakat kelas bawah (Low class) atau sering juga disebut kalangan akar rumput (oleh para sosiolog)  dengan masyarakat kelas atas (High Class). Mungkinkah ini bentuk ketidakseriusan penegak hukum dalam menerapkan UU ? Inilah yang menjadi tugas penegak hukum maupun masyarakat dalam hal penerapan  persamaan hak  kepemilikan atas tanah dalam masyarakat. Bahwa terkait dengan masalah  penegakan hukum (law enforchment), itu bukan semata-mata tugas dari pada penegak hukum itu sendiri. Seperti hakim, jaksa, polisi dan lainnya. Tapi penegakan hukum adalah tugas kemanusian dan tugas semua manusia di bumi ini, yang menjadi ekspektasi masyarakat dan juga tugas-tugas keagamaan yang sejati.

B.     Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Benarkah ada persamaan hak dalam memperoleh hak atas tanah dan diskriminasi dalam hak memperoleh hak atas tanah dalam masyarakat?


BAB II
    PEMBAHASAN

1.      Pengertian Persamaan hak dalam memperoleh hak atas tanah.
Persamaan hak dalam  memperoleh hak atas tanah adalah hak yang diterima oleh perseorangan atau badan hukum selaku pemegang kekuasaan atas tanah. Hak atas tanah memberi wewenang kepada yang mempunyai untuk mempergunakannya tanah yang bersangkutan.
2.      Macam-macam memperoleh  hak atas tanah.
Ø Ketentuan dalam memperoleh hak atas tanah:
Ketentuan yang mengatur mengenai cara memperoleh Hak Milik Atas Tanah dapat di temukan dalam beberapa rumusan pasal berikut dalam Undang-Undang Pokok Agraria:
Pasal 21
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini  memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
(4) Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuandalam ayat (3) pasal ini.
Pasal 22.
(1)  Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)  Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena:
a.        Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang
       ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
  b.   ketentuan Undang-undang.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Macam-macam Hak yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1), yaitu :
1.   Hak Milik (HM)
Hak milik menurut Pasal 20 UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh. Kata –kata “terkuat dan terpenuh” itu tidak berarti bahwahak milik merupakan hak yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
Hak milik sangat penting bagi manusia untuk dapat melaksanakan hidupnya di dunia. Semakin tinggi nilai hak milik atas suatu benda, semakin tinggi pula penghargaan yang diberikan terhadap benda tersebut. Tanah adalah salah satu milik yang sangat berharga bagi umat manusia, demikian pula bangsa Indonesia.
Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas yaitu :
1)      Asas  nemo plus juris transfere potest quam ipse habet, artinya tidak seorang pun dapat menglihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang ia punyai.
2)      Asas nemo sibi ipse causam possessionis mutare potest, artinya tidak seorang pun dapat mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tijuan dari penggunaan objek miliknya.
§  Sifat-sifatnya :
a.       Terkuat
b.      Turun temurun dan dapat beralih
c.       Dapat menjadi induk dari pada hak-hak atas tanah lain
d.      Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan
e.       Dapat diwakafkan.
§  Tujuan penggunaannya
Hak milik atas tanah dapat dipergunakaan baik untuk usaha pertanian maupun dengan memperhatikan/menyesuaikan dengan rencana tata guna tanah.
§  Hapusnya hak milik
a.       Karena pencabutan hak
b.       Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
c.       Karena ditelantarkan yang pengertiannya akan ditentukan dalam peraturan perundangan
d.      Karena ditentukan dalam Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
2.   Hak Guna Usaha (HGU)
Hak untuk mengusahakan tanah negara minimal 5 hektar dalam jangka waktu yang terbatas dan tertentu, yaitu maksimal 25 tahun atau 35 tahun yang dapat diperpanjang dengan maksimal 35 tahun dibidang pertanian, perikanan, peternakan (Pasal 28)
Tujuan penggunaannya : pada dibidang pertanian, perikanan, peternakan (Pasal 28)
Hapusnya hak guna usaha:
a.       Jangka waktu berakhir
b.      Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi
c.       Dicabut untuk kepentingan umum
d.       Tanahnya musnah
e.       Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2)
3.   Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri (tanah negara dalam tanah milik orang lain) yang jangka waktunya juga terbatas dan tertentu, yaitu maksimal 30 tahun yang dapat diperpanjang dengan maksimal 20 tahun (Pasal 35). Penggunaan tanah yang dipunyai dengan hak guna bangunan terutama untuk mendirikan/mempunyai bangunan-bangunan, tetapi disamping itu diperbolehkan untuk menanam sesuatu dan memelihara ternak, asal tujuannya yang pokok tetap dilaksanakan.
Tujuan penggunaannya: untuk mendirikan dan atau mempunyai bangunan-bangunan.
Hapusnya hak guna bangunan :
a.       Jangka waktu berakhir
b.      Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu      berakhir
c.       Untuk kepentingan umum
d.       Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA
4.   Hak Pakai (HP)
Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan atau perjanjian pemberiannya (Pasal 41) tapi tidak bersumber pada hubungan sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
Jangka waktu : hak pakai yang diberikan selama waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Dalam praktek pada umumnya pemberiahhak pakai oleh pemerintah jangka waktunya 10 tahun.
Hapusnya hak pakai:
a.       Jangka waktu berakhir
b.      Dicabut untuk kepentingan umum
c.       Tanahnya musnah
d.       Dilepaskan oleh pemengan haknya sebelum jangka waktu berakhir.
5.   Hak Sewa (HS)
Hak mempergunakan tanah milik orang lain untuk sesuatu keperluan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44). Antara HGU, HGB, HP, dan HS terdapat kesamaan, yaitu hak yang memberi wewenang untuk memakai/menggunakan tanah yang bukan miliknya sendiri dan dapat dikelompokan sebagai hak pakai.
6.   Hak Membuka Tanah (HMT) dan Hak Memungut Hasil Hutan (HMHH)
Dalam perkembangan UUPA yang mulai diatur dalam PMA No.9 tahun 1960, kemudian dikenal dan dikembangkan pula hak pengelolaan. Pengelolaan sebagai jenis hak belum disebut dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, tetapi mengelola tanah negara sendiri sebagai fungsi sebenarnya sudah terbaca dalam penjelasan angka II/2 UUPA.
Hak pengelolaan adalah hak untuk menguasi atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk :
a.       Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan menggunakan tanah tersebut untuk pelaksanaan tugasnya.
b.      Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak pakai dengan jangka waktu 6 tahun (Perauran Mentri Agraria No.9 tahun1965)
c.       Menerima uang pemasukan/uang wajib tahunan.
Di samping itu, UUPA mengenal pula hak-hak yang bersifat sementar yang disebut dalam Pasal 53, yaitu :
1.  Hak gadai
2.  Hak usaha bagi hasil
3.  Hak menumpang
4.  Hak sewa tanah pertanian(Pasal 16 ayat (1) jo Pasal 53)
BW (KUHP perdata) menganal berbagai jenis hak atas tanah sebagai barang tidak bergerak, yaitu :
a.       Bezit (kedudukan berkuasa)
b.      Eigendom (hak milik)
c.       Burenrecht (hak bertetangga = hak jiran)
d.      Herendienst (hak kerja rodi)
e.       Erfaienst baarheid (hak pengabdian tanah)
f.       Het regt van opstaal (hak numpang karang)
g.      Het erfpachtsregt (hak usaha)
h.      Grondrenten en tienden (bunga tanah dan hasil sepersepuluh)
i.        Het vrucht gebruik (hak pakai hasil)
j.        Het recht van gebruik en de bewoning (hak pakai dan hak  mendiami)
Sedangkan hukum adat mengenal peristilahan yang lain sekali:
1.      Hak Persekutuan atas Tanah
a.       Hak ulayat
b.       Hak dari kelompok kekerabatan atau keluarga luas.
2.      Hak Perorangan atas Tanah.
a.       Hak milik, hak yasan (inland bezitrecht)
b.      Hak wewenang pilih, hak kima-cek, hak mendahulu (voorkeursrecht)
c.       Hak menikmati hasil (genotsrecht)
d.      Hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap/mengolah (ontginningsrecht)
e.       Hak imbalan jabatan (ambtelijk profitjt recht)
f.       Hak wenang beli (naastingsrecht)
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”

3.      Adanya diskriminasi dalam memperoleh dan memiliki Hak atas tanah yang terjadi di desa Tegal Buleud Kabupaten Sukabumi.
Contoh kasus yang menunjukkan terjadinya proses diskriminasi terhadap penduduk terjadi di desa Tegal Buleud kabupaten Sukabumi yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian. Dari semua persoalan pertanian yang dihadapi petani di Tegalbuleud, persoalan utama yang menjadi landasan terciptanya konflik dan pemiskinan besar-besaran penduduk desa tersebut adalah sosok aparat pemerintah yang bersekutu dengan pemilik modal dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan yang terjadi di Indonesia selama berkuasanya rejim Orde Baru yang merupakan produk strategi pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu rumusan strategi pertumbuhan ekonomi tersebut didasarkan pada strategi pinjaman utang luar negeri guna pengembangan infrastruktur modern yang kemudian harus dibayar oleh pemerintah dari dana yang diperolehnya melalui eksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Tidak mengherankan bila pada tingkat lokal, implementasi strategi tersebut membuahkan berbagai konflik di mana negara yang tengah berupaya keras memenuhi kas pendapatannya harus berhadapan dengan para petani yang harus kehilangan tanahnya melalui program-program pembangunan tersebut. Konflik pertama yang muncul di desa tersebut berawal dengan adanya “program pembangunan” pemerintah yang merencanakan dengan membangun kompleks perkebunan kelapa hibrida yang akan menjadi komoditi ekspor yang menguntungkan bagi pemerintah pada awal tahun 1980-an. Tanah yang sekarang menjadi tanah PIR-BUN seluas 2000 hektar merupakan tanah yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat masing-masing seluas 2 hektar. Rakyat menanami tanah tersebut dengan tanaman cengkeh, buah-buahan dan lain sebagainya. Ketika proyek PIR memutuskan agar tanah tersebut ditanami oleh kelapa hibrida, maka semua tanaman yang ditanam rakyat ditebangi dengan paksa. Selain itu, kebanyakan petani yang sebelumnya mengelola tanah tersebut, ternyata tidak mendapatkan kembali tanah mereka yang didistribusikan kepada orang-orang lain.
Kasus-kasus ini muncul saat penguasaan tanah di Indonesia dirasakan terpusat pada sekelompok orang. Banyak tanah rakyat yang dijual ke tangan pembeli bermodal besar maupun investor akibat desakan ekonomi. Lahan-lahan pertanian mengalami konversi, akibat para petani menjual tanah kepada investor yang kemudian tidak mengolah tanah tersebut. Banyaknya tanah terlantar di perkotaan maupun pedesaan sangat mencolok sekali di tengah kebutuhan mendesak akan pemukiman bagi warga, maupun kebutuhan akan lahan pertanian. Hal ini membuat masyarakat merasa termarginalkan di daerahnya sendiri, dan kerapkali menimbulkan konflik maupun sengketa di atas tanah tersebut.  Ironisnya tanah-tanah yang dibiarkan terlantar itu tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah untuk diamankan padahal berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA setiap orang dan badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Jadi konsekuensi dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) ini adalah bahwa tanah pertanian itu tidak boleh dibiarkan terlantar sehingga keberadaannya menjadi tidak bermanfaat dan rusak sedangkan menurut ketentuan Pasal 15 UUPA bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak ekonomi lemah.
Masalah penelantaran tanah ini berkaitan dengan masalah kepemilikan secara besar-besaran oleh perorangan yang tentunya jika dibiarkan akan terjadi apa yang dinamakan dengan “monopoli tanah” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penguasaan/kepemilikan tanah yang melampaui batas ini tidak sesuai dengan amanat dari Pasal 7 UUPA yang menyatakan bahwa “ Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”Namun dalam kenyataannya hal ini sulit untuk dihindari.
Selain permasalahan di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah masalah jaminan kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah. Meskipun secara normatif pemerintah telah mengeluarkan ketentuan tentang pendaftaran tanah yang diatur dalam Pasal 19 UUPA dan ditindak lanjuti dengan Peraturan Pelaksana 27 Nomor tahun 1997, namun dalam kenyataannya masalah ini tetap melahirkan banyak fenomena memprihatinkan di masyarakat seperti keengganan masyarakat untuk melakukan sertifikasi karena berbagai alasan yang pada umumnya berkisar pada alasan ekonomis, namun sebaliknya terdapat pula kepemilikan sertifikat oleh banyak orang.
Lahir dua pemikiran terhadap segala persoalan terkait dengan hak milik atas tanah sebagaimana diuraikan di atas bahwa hal tersebut timbul tidak hanya akibat dari kekeliruan pemerintah dalam penerapan kebijakan tetapi juga tidak lepas dari peran serta masyarakatnya yang tampak berupaya untuk berontak/melepaskan diri dari kebijakan hukum pemerintahan yang bersangkutan. Oleh karena itu segala permasalahan tersebut perlu dianalisis lebih cermat baik terhadap pihak pelaksana kebijakan yang seringkali menyelewengkan amanat dari pembuat kebijakan maupun terhadap masyarakat luas yang juga berperan serta memperuncing segala permasalahan yang terjadi berkaitan dengan hak milik ini.



BAB III
PENUTUP
1)      Kesimpulan.
Dari penjelasan di atas mengenai “Persamaan hak dalam memperoleh hak atas tanah” memang UUD 1945 dan UUPA telah mengaturnya dengan rinci, akan tetapi yang salah adalah masalah penerapannya dalam masyarakat. Ditinjau dari berbagai daerah tentang permasalahn ini, persamaan hak memang kadang dikesampingkan akibat kepentingan-kepentingan tertentu. Pemebedaan perlakuan terhadap masyarakat grass root (kalangan akar rumput) secara nyata terjadi dalam berbagai daerah. Masyarakat kalangan high class cenderung mendapatkan apa yang mereka inginkan. Karena dengan gampangnya melakukan lobi-lobi dengan aparat hukum. Hukum tidak lagi menegakkan keadilan, tapi meniadakan keadilan.
2)      Saran.
Berbagai permasalahan dalam hal, persamaan hak memperoleh hak atas tanah, itu sudah menjadi tugas kita bersama sebagai masyrakat. Dan juga, sudah sepatutnya sebagai generasi muda indoensia terus melakukan controling terhadap peraturan yang ada dan bahkan sampai bagaimana penerapannya dalam masyarakat. Selain itu, seharusnya penegak hukum tidak lagi menegakkkan keadilan dengan setengah hati. Tetapi tekad yang kuat dan keseriusan yang tinggi kami harapkan terhadap penegak hukum bangsa dan negara ini



Daftar Pustaka
Ø  Undang – Undang Dasar Tahun 1945
Ø  Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah.Jakarta: Djambatan,1991
Ø  Wargakusumah Hasan, S. H.1992.Hukum Agraria I.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ø   Sutedi Adrian, S. H.2007.Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftaraannya.Jakarta: Sinar Grafika.
Ø  Santoso Urip, S.H M.H  2010.pendaftaran dan peralihan hak atas tanah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ø  Febriramadhanii.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar