MAKALAH
PERSAMAAN HAK DALAM MEMPEROLEH HAK ATAS TANAH
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang masalah.
Islam
sebagai sebuah agama yang rahmatan lil
alamin telah melarang yang namanya diskriminasi terhadap manusia di muka
bumi ini. Semua manusia dilahirkan sama dalam sudut pandang agama islam. Tidak
ada manusia yang diciptakan Allah langsung menjadi kuat dan hebat seperti
penguasa dan bahkan prestasi yang mengagumkan tanpa adanya proses . Islam berkali-kali
menegaskan dalam Al.Quran tengtang larangan berbuat diskriminasi, dan manusia
mestinya berbuat adil terhadap sesamanya bukannya diskriminasi.
Dalam
Al.Quran telah ditegaskan tengtang larangan berbuat diskriminasi terhadap
sesama manusia.
Penegasan
pertama dapat kita lihat dalam Al.Quran pada surah Al.Maidah:8.
‘Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Penegasan
kedua dapat kita lihat dalam Al.Quran pada surah:
An
Nahl : 90.
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Dalam
proses perkembangan penegakan hukum di Indonesia kita mengetahui bahwa banyak
permasalahan yang terjadi didalam masyarakat. Proses penegakan hukum yang
terkadang berjalan tertatih-tatih, dan tidak sesuai dengan semestinya. Harapan
dan cita-cita hukum agar tercapainya keadilan itu seolah hanya mimpi belaka.
Sedangkan dalam pancasila, yang merupakan falsafah berbangsa dan bernegara kita
dan juga juga sebagai dasar negara
Republik Indonesia mempertegas makna akan penerapan persamaan hak dalam
memperoleh hak atas tanah dalam masyarakat, yang dinyatakan dalam sila kelima
(5): Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata Keadilan disini
penulis memberikan pemaknaan yakni: tidak memihak, tidak berat sebelah, dan
tidak melakukan pembedaan perlakuan (diskriminasi).
Dalam
UUD 1945 mengatakan, Semua warga Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang
sama dengan seperti tercantum dalam Pasal 27 ayat 1, Bahwa “Segala warga negara
bersamaan kedudukannnya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sehingga tiap-tiap WNI
baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, Baik bagi
diri sendiri maupun keluarganya.
UUPA dalam
Pasal 9 ayat 2 mencantumkan ketentuan adanya persamaan hak dari laki-laki dan
perempuan. Selain itu tiap-tiap WNI mempunyai hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, Sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat 2 UUD
1945 kita sebagai berikut, “ Tiap-tiap waraga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Asas non diskriminasi juga diatur
dalam pasal 21 UUPA & Pasal 27 UUD 1945 : Setiap WNI sama kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan tersebut.
Aturan
hukum di atas seolah menjadi eksisistensi semantik belaka dalam tataran UU.
Banyak aturan yang dapat kita lihat dalam bentuk UU, akan tetapi tetap ada
pembedaan perlakuan kepemilikan hak atas tanah dalam masyrakat. Inilah
kesenjangan yang terjadi. Hukum tidak lagi mampu menjamin keadilan dan
kesejahtraan masyarakat.
Tapi
kenapa kemudian banyak terjadi diskriminasi sosial, khususnya kepemilikan hak
atas tanah ? Antara Masyarakat kelas bawah (Low
class) atau sering juga disebut kalangan akar rumput (oleh para sosiolog) dengan masyarakat kelas atas (High Class). Mungkinkah ini bentuk
ketidakseriusan penegak hukum dalam menerapkan UU ? Inilah yang menjadi tugas
penegak hukum maupun masyarakat dalam hal penerapan persamaan hak kepemilikan atas tanah
dalam masyarakat. Bahwa terkait dengan masalah
penegakan hukum (law enforchment),
itu bukan semata-mata tugas dari pada penegak hukum itu sendiri. Seperti hakim,
jaksa, polisi dan lainnya. Tapi penegakan hukum adalah tugas kemanusian dan
tugas semua manusia di bumi ini, yang menjadi ekspektasi masyarakat dan juga
tugas-tugas keagamaan yang sejati.
B.
Rumusan
Masalah.
Adapun rumusan masalah yang akan
dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Benarkah
ada persamaan hak dalam memperoleh hak atas tanah dan diskriminasi dalam hak
memperoleh hak atas tanah dalam masyarakat?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Persamaan
hak dalam memperoleh hak atas tanah.
Persamaan
hak dalam memperoleh hak atas tanah
adalah hak yang diterima oleh perseorangan atau badan hukum selaku pemegang
kekuasaan atas tanah. Hak atas tanah memberi wewenang kepada yang mempunyai
untuk mempergunakannya tanah yang bersangkutan.
2.
Macam-macam memperoleh hak atas tanah.
Ø Ketentuan dalam memperoleh hak atas
tanah:
Ketentuan
yang mengatur mengenai cara memperoleh Hak Milik Atas Tanah dapat di temukan
dalam beberapa rumusan pasal berikut dalam Undang-Undang Pokok Agraria:
Pasal 21
(3)
Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa
wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara
Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini
kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu
satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu.
Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak
tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
(4)
Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai
kewarga-negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan
baginya berlaku ketentuandalam ayat (3) pasal ini.
Pasal 22.
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena:
a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan
syarat-syarat yang
ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
b. ketentuan
Undang-undang.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam
pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan
dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum.
Macam-macam Hak yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1), yaitu :
1. Hak Milik (HM)
Hak milik menurut Pasal 20 UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan
terpenuh. Kata –kata “terkuat dan terpenuh” itu tidak berarti bahwahak milik
merupakan hak yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
Hak milik sangat penting bagi manusia untuk dapat melaksanakan hidupnya di
dunia. Semakin tinggi nilai hak milik atas suatu benda, semakin tinggi pula
penghargaan yang diberikan terhadap benda tersebut. Tanah adalah salah satu
milik yang sangat berharga bagi umat manusia, demikian pula bangsa Indonesia.
Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas yaitu :
1)
Asas nemo plus juris transfere potest quam ipse
habet, artinya tidak seorang pun dapat menglihkan atau memberikan sesuatu
kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang ia punyai.
2)
Asas nemo sibi ipse
causam possessionis mutare potest, artinya tidak seorang pun dapat mengubah
bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tijuan dari penggunaan objek
miliknya.
§
Sifat-sifatnya :
a.
Terkuat
b.
Turun temurun dan dapat
beralih
c.
Dapat menjadi induk dari
pada hak-hak atas tanah lain
d.
Dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani hak tanggungan
e.
Dapat diwakafkan.
§
Tujuan penggunaannya
Hak milik atas tanah dapat dipergunakaan
baik untuk usaha pertanian maupun dengan memperhatikan/menyesuaikan dengan
rencana tata guna tanah.
§
Hapusnya hak milik
a.
Karena pencabutan hak
b.
Karena penyerahan dengan sukarela oleh
pemiliknya
c.
Karena ditelantarkan
yang pengertiannya akan ditentukan dalam peraturan perundangan
d.
Karena ditentukan dalam
Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
2. Hak Guna Usaha (HGU)
Hak untuk mengusahakan tanah negara minimal 5 hektar dalam jangka waktu
yang terbatas dan tertentu, yaitu maksimal 25 tahun atau 35 tahun yang dapat
diperpanjang dengan maksimal 35 tahun dibidang pertanian, perikanan, peternakan
(Pasal 28)
Tujuan penggunaannya : pada dibidang pertanian, perikanan, peternakan
(Pasal 28)
Hapusnya hak guna usaha:
a.
Jangka waktu berakhir
b.
Dihentikan sebelum
jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi
c.
Dicabut untuk
kepentingan umum
d.
Tanahnya musnah
e.
Ketentuan dalam Pasal 30
ayat (2)
3. Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang
bukan miliknya sendiri (tanah negara dalam tanah milik orang lain) yang jangka
waktunya juga terbatas dan tertentu, yaitu maksimal 30 tahun yang dapat
diperpanjang dengan maksimal 20 tahun (Pasal 35). Penggunaan tanah yang
dipunyai dengan hak guna bangunan terutama untuk mendirikan/mempunyai
bangunan-bangunan, tetapi disamping itu diperbolehkan untuk menanam sesuatu dan
memelihara ternak, asal tujuannya yang pokok tetap dilaksanakan.
Tujuan penggunaannya: untuk mendirikan dan atau mempunyai
bangunan-bangunan.
Hapusnya hak guna bangunan :
a.
Jangka waktu berakhir
b.
Dilepaskan oleh pemegang
haknya sebelum jangka waktu berakhir
c.
Untuk kepentingan umum
d.
Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA
4. Hak Pakai (HP)
Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah negara atau tanah
milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan atau perjanjian pemberiannya (Pasal 41) tapi tidak bersumber pada
hubungan sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
Jangka waktu : hak pakai yang diberikan selama waktu tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Dalam praktek pada umumnya
pemberiahhak pakai oleh pemerintah jangka waktunya 10 tahun.
Hapusnya hak pakai:
a.
Jangka waktu berakhir
b.
Dicabut untuk
kepentingan umum
c.
Tanahnya musnah
d.
Dilepaskan oleh pemengan haknya sebelum jangka
waktu berakhir.
5. Hak Sewa (HS)
Hak mempergunakan tanah milik orang lain untuk sesuatu keperluan dengan
membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44). Antara HGU,
HGB, HP, dan HS terdapat kesamaan, yaitu hak yang memberi wewenang untuk
memakai/menggunakan tanah yang bukan miliknya sendiri dan dapat dikelompokan
sebagai hak pakai.
6. Hak Membuka Tanah (HMT) dan Hak
Memungut Hasil Hutan (HMHH)
Dalam perkembangan UUPA yang mulai diatur dalam PMA No.9 tahun 1960,
kemudian dikenal dan dikembangkan pula hak pengelolaan. Pengelolaan sebagai
jenis hak belum disebut dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, tetapi mengelola tanah
negara sendiri sebagai fungsi sebenarnya sudah terbaca dalam penjelasan angka
II/2 UUPA.
Hak pengelolaan adalah hak untuk menguasi atas tanah yang langsung dikuasai
oleh negara yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk :
a.
Merencanakan peruntukan
dan penggunaan tanah yang bersangkutan menggunakan tanah tersebut untuk
pelaksanaan tugasnya.
b.
Menyerahkan
bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak pakai dengan jangka
waktu 6 tahun (Perauran Mentri Agraria No.9 tahun1965)
c.
Menerima uang
pemasukan/uang wajib tahunan.
Di samping itu, UUPA mengenal pula hak-hak yang bersifat sementar yang
disebut dalam Pasal 53, yaitu :
1. Hak gadai
2. Hak usaha bagi hasil
3. Hak menumpang
4. Hak sewa tanah pertanian(Pasal 16
ayat (1) jo Pasal 53)
BW (KUHP perdata) menganal berbagai jenis hak atas tanah sebagai barang
tidak bergerak, yaitu :
a.
Bezit (kedudukan
berkuasa)
b.
Eigendom (hak milik)
c.
Burenrecht (hak
bertetangga = hak jiran)
d.
Herendienst (hak kerja
rodi)
e.
Erfaienst baarheid (hak
pengabdian tanah)
f.
Het regt van opstaal
(hak numpang karang)
g.
Het erfpachtsregt (hak
usaha)
h.
Grondrenten en tienden
(bunga tanah dan hasil sepersepuluh)
i.
Het vrucht gebruik (hak
pakai hasil)
j.
Het recht van gebruik en
de bewoning (hak pakai dan hak mendiami)
Sedangkan hukum adat mengenal peristilahan yang lain sekali:
1. Hak Persekutuan atas Tanah
a.
Hak ulayat
b.
Hak dari kelompok kekerabatan atau keluarga
luas.
2. Hak Perorangan atas Tanah.
a.
Hak milik, hak yasan
(inland bezitrecht)
b.
Hak wewenang pilih, hak
kima-cek, hak mendahulu (voorkeursrecht)
c.
Hak menikmati hasil
(genotsrecht)
d.
Hak pakai
(gebruiksrecht) dan hak menggarap/mengolah (ontginningsrecht)
e.
Hak imbalan jabatan
(ambtelijk profitjt recht)
f.
Hak wenang beli
(naastingsrecht)
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan
satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan
dengan hak-hak yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat
(1) UUPA yang berbunyi:
“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai
orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”
3.
Adanya
diskriminasi dalam memperoleh dan memiliki Hak atas tanah yang terjadi di desa
Tegal Buleud Kabupaten Sukabumi.
Contoh kasus yang menunjukkan terjadinya proses diskriminasi terhadap penduduk
terjadi di desa Tegal Buleud kabupaten Sukabumi yang mayoritas penduduknya
bermata pencaharian di bidang pertanian. Dari semua persoalan pertanian
yang dihadapi petani di Tegalbuleud, persoalan utama yang menjadi landasan
terciptanya konflik dan pemiskinan besar-besaran penduduk desa tersebut adalah
sosok aparat pemerintah yang bersekutu dengan pemilik modal dalam memanfaatkan
pengelolaan sumber daya alam di pedesaan yang terjadi di Indonesia selama
berkuasanya rejim Orde Baru yang merupakan produk strategi pembangunan
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu rumusan strategi pertumbuhan
ekonomi tersebut didasarkan pada strategi pinjaman utang luar negeri guna
pengembangan infrastruktur modern yang kemudian harus dibayar oleh pemerintah
dari dana yang diperolehnya melalui eksploitasi sumber daya alam di Indonesia.
Tidak mengherankan bila pada tingkat lokal, implementasi strategi tersebut
membuahkan berbagai konflik di mana negara yang tengah berupaya keras memenuhi
kas pendapatannya harus berhadapan dengan para petani yang harus kehilangan
tanahnya melalui program-program pembangunan tersebut. Konflik pertama yang
muncul di desa tersebut berawal dengan adanya “program pembangunan” pemerintah
yang merencanakan dengan membangun kompleks perkebunan kelapa hibrida yang akan
menjadi komoditi ekspor yang menguntungkan bagi pemerintah pada awal tahun
1980-an. Tanah yang sekarang menjadi tanah PIR-BUN seluas 2000 hektar merupakan
tanah yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat masing-masing seluas 2 hektar.
Rakyat menanami tanah tersebut dengan tanaman cengkeh, buah-buahan dan lain
sebagainya. Ketika proyek PIR memutuskan agar tanah tersebut ditanami oleh
kelapa hibrida, maka semua tanaman yang ditanam rakyat ditebangi dengan paksa.
Selain itu, kebanyakan petani yang sebelumnya mengelola tanah tersebut,
ternyata tidak mendapatkan kembali tanah mereka yang didistribusikan kepada
orang-orang lain.
Kasus-kasus ini muncul saat penguasaan tanah di Indonesia dirasakan
terpusat pada sekelompok orang. Banyak tanah rakyat yang dijual ke tangan
pembeli bermodal besar maupun investor akibat desakan ekonomi. Lahan-lahan
pertanian mengalami konversi, akibat para petani menjual tanah kepada investor
yang kemudian tidak mengolah tanah tersebut. Banyaknya tanah terlantar di
perkotaan maupun pedesaan sangat mencolok sekali di tengah kebutuhan mendesak
akan pemukiman bagi warga, maupun kebutuhan akan lahan pertanian. Hal ini
membuat masyarakat merasa termarginalkan di daerahnya sendiri, dan kerapkali
menimbulkan konflik maupun sengketa di atas tanah tersebut. Ironisnya
tanah-tanah yang dibiarkan terlantar itu tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah
untuk diamankan padahal berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA setiap
orang dan badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah
cara-cara pemerasan. Jadi konsekuensi dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) ini
adalah bahwa tanah pertanian itu tidak boleh dibiarkan terlantar sehingga
keberadaannya menjadi tidak bermanfaat dan rusak sedangkan menurut ketentuan
Pasal 15 UUPA bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta
mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau
instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan
pihak ekonomi lemah.
Masalah penelantaran tanah ini berkaitan dengan masalah kepemilikan secara
besar-besaran oleh perorangan yang tentunya jika dibiarkan akan terjadi apa
yang dinamakan dengan “monopoli tanah” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab. Penguasaan/kepemilikan tanah yang melampaui batas ini tidak sesuai
dengan amanat dari Pasal 7 UUPA yang menyatakan bahwa “ Untuk tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan.”Namun dalam kenyataannya hal ini sulit untuk dihindari.
Selain permasalahan di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah masalah
jaminan kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah. Meskipun secara
normatif pemerintah telah mengeluarkan ketentuan tentang pendaftaran tanah yang
diatur dalam Pasal 19 UUPA dan ditindak lanjuti dengan Peraturan Pelaksana 27
Nomor tahun 1997, namun dalam kenyataannya masalah ini tetap melahirkan banyak
fenomena memprihatinkan di masyarakat seperti keengganan masyarakat untuk
melakukan sertifikasi karena berbagai alasan yang pada umumnya berkisar pada
alasan ekonomis, namun sebaliknya terdapat pula kepemilikan sertifikat oleh
banyak orang.
Lahir dua pemikiran terhadap segala persoalan terkait dengan hak milik atas
tanah sebagaimana diuraikan di atas bahwa hal tersebut timbul tidak hanya
akibat dari kekeliruan pemerintah dalam penerapan kebijakan tetapi juga tidak
lepas dari peran serta masyarakatnya yang tampak berupaya untuk
berontak/melepaskan diri dari kebijakan hukum pemerintahan yang bersangkutan.
Oleh karena itu segala permasalahan tersebut perlu dianalisis lebih cermat baik
terhadap pihak pelaksana kebijakan yang seringkali menyelewengkan amanat dari
pembuat kebijakan maupun terhadap masyarakat luas yang juga berperan serta
memperuncing segala permasalahan yang terjadi berkaitan dengan hak milik ini.
BAB III
PENUTUP
1)
Kesimpulan.
Dari penjelasan di atas mengenai
“Persamaan hak dalam memperoleh hak atas tanah” memang UUD 1945 dan UUPA telah
mengaturnya dengan rinci, akan tetapi yang salah adalah masalah penerapannya
dalam masyarakat. Ditinjau dari berbagai daerah tentang permasalahn ini,
persamaan hak memang kadang dikesampingkan akibat kepentingan-kepentingan
tertentu. Pemebedaan perlakuan terhadap masyarakat grass root (kalangan akar rumput) secara nyata terjadi dalam
berbagai daerah. Masyarakat kalangan high
class cenderung mendapatkan apa yang mereka inginkan. Karena dengan gampangnya
melakukan lobi-lobi dengan aparat hukum. Hukum tidak lagi menegakkan keadilan,
tapi meniadakan keadilan.
2)
Saran.
Berbagai permasalahan dalam hal, persamaan
hak memperoleh hak atas tanah, itu sudah menjadi tugas kita bersama sebagai
masyrakat. Dan juga, sudah sepatutnya sebagai generasi muda indoensia terus
melakukan controling terhadap
peraturan yang ada dan bahkan sampai bagaimana penerapannya dalam masyarakat.
Selain itu, seharusnya penegak hukum tidak lagi menegakkkan keadilan dengan
setengah hati. Tetapi tekad yang kuat dan keseriusan yang tinggi kami harapkan
terhadap penegak hukum bangsa dan negara ini
Daftar Pustaka
Ø Undang
– Undang Dasar Tahun 1945
Ø Harsono,
Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum
Tanah.Jakarta: Djambatan,1991
Ø Wargakusumah
Hasan, S. H.1992.Hukum Agraria I.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ø Sutedi Adrian, S.
H.2007.Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftaraannya.Jakarta: Sinar Grafika.
Ø Santoso
Urip, S.H M.H 2010.pendaftaran dan
peralihan hak atas tanah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ø Febriramadhanii.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar