Sabtu, 21 Februari 2015

LAND REFORM

LAND REFORM
 A. Asal Usul Land reform.
            UUPA ingin mengubah kenyataan yang berkembang dimasa kolonial. Yakni menjamin hak rakyat petani atas sumber daya agraria (bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Usaha ini disebut juga sebagai pembaharuan agraria (agrarian reform). Sedang pembaharuan agraria dalam arti sempit adalah land reform.
            Strategi pembaharuan dalam bidang penguasaan tanah atau land reform adalah perintah dari UUPA 1960. Karena pentingnya land reform bagi kemakmuran rakyat tani, maka melalui Keppres RI  Ir. Soekarno, tanggal 26 Agustus 1963, No. 169 tahun 1963, maka pada tanggal 24 September ditetapkan sebagai hari lahirnya UUPA dan ditetapkan sebagai hari Tani.
            Sejak tanggal 24 september 1963 rakyat tani mempunyai kekuatan untuk memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengelola tanahnya demi kemakmuran.

 B. Defenisi Land reform.
            Kata land reform berasal dari bahasa inggris yang terdiri dari kata land artinya tanah dan reform artinya perubahan struktur, terjemahan secara etimologinya yaitu perubahan struktur penguasaan tanah. Pengertian landreform dibagi atas dua yaitu:
1. Pengertian dalam arti sempit.
Land reform : Perombakan mengenai pemilikan tanah dan penguasaan tanah serta hubungannya dengan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.
2. Pengertian dalam arti luas.
a.       Pembagian hukum pertanahan/agraria.
b.      Penghapusan hak asing dan konsepsi kolonial atas tanah.
c.       Mengakhiri penghifapan kepemilikan secara berangsur-angsur.
d.      Pembakaran mengenai kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan yang bersangkutan dengan tanah.   
e.       Perencanaan persediaan pembentukan BARA dan kekayaan alam lainnya.

C. Dasar Hukum land reform.
Dasar hukum land reform dalam UUPA ada dalam pasal 7 dan pada pasal 17 karena pada pasal tersebut telah ditegaskan azas yang melarang groot-grondbezit ialah penguasaan tanah tanpa batas dan pada azas ini pula tidak ada pengecualian.
Bunyi dari pasal 7 : Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui tidak diperkenankan.
Bunyi dari pasal 17 :
(1). Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7, maka unutk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 yang sebenarnya kemakmuran rakyat diatur luas maksimum dan luas minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh suatu keluarga atau badan hukum.  
(2). Penetapan batas maksimum termasuk dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.
(3). Tanah-tanah yang merupakan batas maksimum termasuk dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh  pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuabn-ketentuan dalam peraturan pemerintah.
(4). Tercapainya batas minimum termasuk dalam ayat 1 pasal ini akan ditetapkan dengan peraturan perundangan dilaksanakan dengan cara berangsur-angsur.
            Ketentuan dalam pasal 17 merupakan pelaksanaan daripada yang telah ditentukan dalam pasal 7 yang telah menetapkan batas-batas luas maksimum akan dilakukan dalam waktu yang singkat yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tanah yang merupakan kelebihan tidak akan disita tetapi diambil oleh pemerintah dan diganti kerugiannya dan tanah tersebut dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
            Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang yang mempunyai tanah yang kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum ini dimaksudkan untuk mencegah pemecahbelahan tanah lebih lanjut.
            Sedangkan yang dimaksud keluarga adalah suami, istri, serta anak-anak yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga.

D. Tujuan Land reform.
1. Tujuan land reform secara luas:
     Agar mencapai masy adil makmur dapat terselenggara dan khusus taraf hidup petani meninggi, memperkuat dan memperluas kepemilikan tanah untuk seluruh rakyat indonesia terutama kaum tani.
2. Tujuan land reform menurut menteri Sadjiwo, tanggal 12 September 1960 dihadapan rapat Pleno DPRD :
1.      Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner guna merealisir keadilan sosial.
2.      Untuk melaksanakan prinsip tanah agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan sebagai objek pemerasan.
3.      Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap Warga Negara Indonesia baik cewek maupun cowok yang berfungsi sosial.
4.      Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan penghapusan pemilikan dan penguasaan tanah secra besar-besaran dan tidak terbatas dengan menyelenggarakan batas maksimum dan minimum untuk setiap keluarga.
5.      Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terlaksananya pertanian yang intensif secara gotong royong 
6.      Untuk mencapai kesejahteraan dan merata yang adil diringi dengan sisitem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tanah.
3. Tujuan land reform menurut Budi Harjono:   
Untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani kecil dan penggarap sebagai landasan persyaratan untuk melaksanakan pembangunan Ekonomi menuju masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.

E. Prinsip Land reform
            Prinsip land reform beralaskan pada Prinsip Hak menguasai dari negara. Land reform diatur oleh siapa yang berhak mempunyai hak milik, pembatasan luas minimal dan maksimal luas tanah, pencegahan tanah menjadi terlantar, dan tanda bukti kepemilikan atas tanah. Adapun landasan dari land reform adalah :
1.      Adanya hak negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang bersumber pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Hak menguasai dari negara bukan hak kepemilikan dari negara (kolonial) seperti asas domain tetapi sama dengan hak ulayat dalam hukum adat.
2.      Memberikan kewenangan kepada negara dalam membuat tanda bukti atas kepemilikan tanah, yang memiliki hak milik atau hanya Warga Negara Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin, ras dan agama. Sedang untuk Warga Negara Asing tidak diberikan hak yang demikian itu(prinsip nasionalitas, pasal 9jo.21 ayat 1 UUPA).
3.      Luas tanah dengan status hak milik dibatasi haknya. Pertimbangannya adalah luas maksimal pemilikan tanah dibatasi agar tidak tumbuh lagi tuan tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui sistim persewaan tanah atau gdai tanah (pasal 7jo. Pasal 17 UUPA).
4.      Pemilikan yang berhak atas tanah haruslah menggarap sendiri tanahnya secara aktif (pasal 10 UUPA) sehingga membawa manfaat bagi dirinya, keluarganya, maupun masyarakat banyak. UUPA melarang pemilikan tanah yang tidak mengerjakan sendiri oleh pemiliknya karena akan menyebabkan tanahnya akan terlantar (tanah guntai/absentee) atau meluasnya hubungan buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan yang memeras  (pasal 10 ayat 1jo. Pasal 11 ayat 1).
5.      Panitia land reform mendaftarkan mereka yang ingi mendapatkan bukti atas kepemilikan tanah atau mengulai hak atas tanah yang selanjutnya memberikan tanda bukti pemilikan hak atas tanah untuk menjamin kepastian hukum atas tanahnya.
            Prinsip-prinsip land reform ini dibuat untuk mencegah beralihnya keuntungan sumber daya alam Indonesia seperti tanah partekelir yang menyebabkan rakyat Indonesia harus menjadi buruh tani ditanah milik warga negara asing. Pemilik adalah penguasa yang mengambil hasil kerja buruh tani dan pengaturan batas minimal ditujukan agar keluarga petani tidak hidup dari luas tanah yang kecil. Korelasi yang saling menguat antara kecinya produktivitas dengan kecilnya kepemilikan atas tanah.
            Pemilik tanah yang terlalu kecil tidak hanya berakibat kecilnya pendapatan pemiliknya tetapi juga secara makro merugikan, karena rendahnya produktivitas (pasal 13jo. Pasal 17 UUPA). Kepemilikan tanah yang tidak terbatas (tanpa batas maximal) akan membukakan peluang bagi sekelompok kecil orang untuk menguasai tanah yang sangat besar dan sekelompok orang yang lain akan menguasai tanah yang sangat kecil dan terpaksa terpaksa hanya mengandalkan tenaga untuk menjadi buruh

F. Program Land reform
      Land reform yang merupakan perintah UUPA dijabarkan oleh UU atau peraturan pelaksana agar ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan tidak terjadi dalam struktur masyarakat. Jika tanah didistribusikan pada setiap orang, maka setiap orang dapat memperoleh tanah meski sedikit tapi dapat menjamin pemerataan, tetapi resikonya adalah produktifitas menjadi rendah atau rata dalam kemiskinan.
            Adapun peraturan dalam pelaksanaan program land reform adalah:
1.      Penentuan batas maksimum dan minimum yang tercantum dalam pasal 7jo. Pasal 17 UUPA yang diperjelas oleh UU No.56/PRP/1960 tentang luas tanah pertanian dan dalam pasal 1 ayat 2 yang ditentukan bahwa luas maksimal tanah yang dapat dimiliki:
Tingkat kepadatan
Sawah
(ha)
Tanah Kering
(ha)
1.Tidak padat
2. Padat
a.Kurang padat
b.Cukup padat
c. Sangat padat
15

10
7,5
5
20

12
9
6


Penentuan wilayah  padat dan tidak padat lebih diperjelas dalam Keputusan Menteri Agraria No.SK 978/Ka/1960 tentang penegasan luas maksimal tanah pertanian yang didalamnuya disampaikan lampiran tentang luas maksimal di wilayah tingkat II di Indonesia. Luas maksimal untuk keluarga sebanyak 7 orang. Lebih dari itu, setiap kelebihan orang ditambah 10 % dengan ketentuan bahwa penambahan tersebut tidak boleh melebihi 50% (pasal 1 UU/PRP/1960 ).
2.      Laporan pemilikan tanbah secara aksentee/guntai. Maksudnya tidak boleh menguasai tanah diluar wilayah yang telah ditentukan dalam UUPA yang mana tanah tersebut telah memiliki sertifikat yang telah diperiksa dan disahkan oleh Kantor Pertanahan.
  1. Tanah-tanah yang dijadikan objek Land Reform ada pada peraturan Pemerintah No. 224/1961 yang isinya tentang pelaksanaan pembagian tanah dan tentang ganti rugi. Disebutkan dalam PP No. 224/1961bahwa tanah yang dijadikan obyek land reform adalah:
    1. tanah selebihnya dari batas maksimal dimaksudkan dalam UU No.56 PrP tahun 1960 dan tanah jatuh kepada Negara, karena pemiliknya melanggar ketentuan tersebut.
    2. Tanah yang diambil dari pemerintah karena pemiliknya bertempat tinggal diluar daerah, yang dimaksudkan dalam pasal 3 ayat 5 (dalam pasdal 3 PP ini disebutkan bahwa bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah kekecamatan letak tanah gtersebut).
    3. Tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada Negara, yang dimaksud dalam diktum keempat hukum A UUPA yang isinya mengatakan bahwa hak-hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja, sejak berlakunya UU ini dihapus dan dikembalikan kepada negara.
    4. Tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.   
    5. Tanah Negara berasal dari tanah yang tidak pernah digarap dan juga berasal dari tanah hak.
  2. Pengaturan masalah pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang telah digadaikan.
  3. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang mempunyai UU No 2. 1960 tentang perjanjian bagi hasil (UUPBH). UUPBH dikerluarkan dalam rangka melindungi petani dari pernghisapan pemilik tanah, yang karena satu lain hal tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri.
Adapun tujuan UUPBH, sebagaimana yang tekllah dijelaskan dalam UU No.2 tahun 1960 adalah :
    1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik damn penggarapnya    dilakukan atas dasar yang adil.
    2.  Dengan menegaskan hak dan kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap yang biasanya ada pada kedudukan yang tidak kuat.
    3. Apabila a dan b terlaksana maka akan berpengaruh baik pada produksi tanah berarti satu langkah maju dalam melaksanakan program sandang pangan.    
  1. Pendapatan luas maksimal pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan hukum yang mengakibatkan pemecahan pemilik tanah pertanian.

Pada Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No.4 tahun 1964, diatur lebih tegas penetapan perimbangan khusus dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil. Pokok isinya adalah pemilik tanah 2 ha keatas yang menyerahkan tanahnya dengan perjanjian bagi hasil dan belum melaksanakan bagi hasil sesuai dengan imbangan yang telah ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Dati II, terhitung mulai panen awal tahun 1964, setiap kali melakukan pelanggaran dikenakan perimbangan pembagian hasil sebagai berikut: 60% untuk penggarap, 20% untuk pemilik tanah dan 20% untuk Pemerintah yang harus disertakan kepada panitia Land reform.
            Dalam pedoman bagi Kepala Daerah Tingkat II, camat dan kepala desa mengenai beberapa ketentuan dalam UUPBH dinyatakan pedoman imbangan antara bagian pemilik dan penggarap adalah :
  1. Untuk padi yang ditanam di sawah 1:1, artinya untuk pemilik dan penggarap masing-masing 50%.
  2. Untuk tanaman palawija disawah dan untuk tanaman di tanah kering 2:1, artinya pemilik 1/3 dan penggarap 2/3.
  3. Dengan ketentuan bahwa jika telah dicapai imbangan yang lebih menguntungkan, pihak penggarap 6/10 dan pemilik 4/10 imbangan yang terakhir inilah yang dipakai.
Untuk pelaksanaan UUPBH ini, Menteri Muda Agraria mengeluarkan keputusan dengan No. SK/322/KA/1960, tentang pelaksanaan UU No.2 tahun 1960. Isi keputusan ini adalah membentuk panitia khusus Pertimbangan Bagi Hasil ditiap-tiap kecamatan.

F.1. Tugas Panitia UUPBH.
      Adapun tugas dari UUPBH adalah memberi pertimbangan kepada camat didalam menjalankan kewenangannya yang diberikan oleh UUPBH, baik atas  insiatif sendiri, ataupun permintaan.
      Susunan keanggotaannya adalah:
  1. Camat sebagai ketua.
  2. Dua orang pejabat, masing-masing dari jawatan pertanian rakyat dan pengairan kecamatan.
  3. Dua orang dari Golongan Fungsional tanah di kecamatan.
  4. Satu orang dari organisasi petani.
  5.  Dua orang mewakili dua organisasi yang terbesar di kecamatannya atas usul organisasinya masing-masing.
Dengan terbentuknya panitia land reform kecamatan, maka Badan Pertiimbangan Bagi Hasil ditiadakan dan tugasnya dipersatukan dengan panitia land reform kecamatan (peraturan Menteri Agraria No 4/1964).

F.2. Tugas dan Fungsi Panitia land Reform
      Pada prinsipnya tugas dan fungsi panitia land reform dapat dibagi kedalam beberapa fungsi:
1.      Panitia land reform berfungsi menetapkan peraturan mengenai pelaksanaan dan menetapkan keputusan pelaksanaan land reform dan hasil keputusan panitia dilaksanakan oleh badan pekerja.
2.      Panitia harian bekerja untuk melaksanakamn keputusan dan pengaturan serta memberikan bimbingan dan petunjuk baik atas inisiatif pusat ataupun sendiri.
3.      Panitia pertimbangan dan pengawasan Pelaksanaan land reform berfungsi memberikan masukan, saran dan pertimbangan pada panitia pusat tentang cara pelaksanaan, pengawasan jalannya land reform di daerah.
4.      Panitia land reform Tingkat I berfungsi melaksanakan instruksi baik dari panitia pusat maupun panitia pertimbangan dan pengawasan.
5.      Panitia land reform Tingkat II berfungsi melaksanakan instruksi panitia yang berkedudukan lebih tinggi dan menyusun rencana kerja untuk daerahnya sesuai dengan peraturan.
6.      Panitia land reform Tingkat kecamatan atau desa berfungsi untuk melaksanakan dan membantu lancarnya pelaksanaan dan melaksanakan intruksi panitia land reform yang lebih tinggi dan seluruh biaya dibebankan kepada Departemen Agraria.
Untuk merealisasi Kepres tersebut Menteri Agraria mengeluarkan SK No. 508/Ka tanggal 23 agustus 1961 tentang mulai bekerjanya panitia land reform Daerah Tingkat II/kotapraja yang ditetapkan mulai pada tanggal 1september 1961.

G.Konflik Land Reform
      Pelaksanaan land reform dengan sendirinya menimbulkan konflik/sengketa. Penyelesaian sengketa land reform diatur dalam UU No. 21 tahun 1964 tentang pengadilan land reform. Dasar dari perlunya land reform adalah perkara-perkara land reform mempunyai kekhususan. Karenanya dibutuhkan suatu Badan Peradilan dengan susunan, kekuasaan dan tata cara yang khusus pula.
      Pengadilan dan hukum berwenang mengadili perkara land reform yaitu perkara-perkara perdata, pidana maupun adminstratif yang timbul akibat pelaksanaan peraturan land reform. Dalam pasal 2 ayat 2 UU No 21, memaksudkan pengaturan land reform tidak terbatas pada UU No 2 tahun 1960 dan UU No 56 PrP tahun 1960 serta peraturan pelaksanaannya.Turut disebut juga UU No 5 tahun 1960, UU No 38 PrP tahun 1960, UU No 51 PrP tahun 1960 dan UU No 16 tahun 1964.
      Susunan Pengadilan land reform terdiri atas pengadilan pengadilan land reform dan pengadilan land reform daerah, yang tempat kedudukan dan daerah hukumnya ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul Menteri Agraria. Dengan surat keputusan Menteri Kehakiman tanggal 16 november 1964 No. JB 1/2/9 telah dibentuk 18 pengadilan land reform daerah hukumnya meliputi seluruh Indonesia (kecuali Irian Barat). Pengadilan Land Reform daerah meerupakan tingkat pertama sedangkan pusat merupakan pengadilan banding. Terhadap putusan pengadilan land reform pusat tidak dapat dimintakan kasasi terhadap Mahkamah Agung, kecuali kasasi untuk kepentingan hukum yang diajukan oleh jaksa Agung.
      Pihak yang berwenang untuk mengadili suatu perkara land reform adalah pengadilan land reform daerah dari daerah tempat letak tanah yang tersangkut didalam perkara itu. Keistimewaan lainnya yang menonjol dari pengadilan land reform terletak pada susunannya, yang merupakan keunikan dalam sejarah pengadilan di Indonesia, yaitu ikut sertanya wakil-wakil organisasi petani sebagai hakim anggota. Tiap pengadilan land reform (pusat dan daerah) terdiri dari satu kesatuan majelis atau lebih, tiap-tiap kesatuan majelis itu terdiri atas seorang Hakim dari pengadilan umum sebagai anggota, tiga orang wakil organisasi-organisasi massa petani sebagai anggota. Didalam penjelasan UU tersebut diatas ketiga organisasi massa petani harus mencerminkan poros Nasakom (terwakili unsur-unsur golongan nasionalis, agama dan golongan komunis).

      Berhubung dengan praktek peradlan land reform belum berjalan lancar, antara lain disebabkan karena wilayah hukum tiap pengadilan land reform daerah terlalu luas, maka diusahakan  umtuk memperbanyak jumlah pengadilan menjadi kurang lebih 150 sesuai dengan banyaknya Pengadilan Negeri (Keputusan Presidium Kabinet tanggal 15 maret 1967 No.58/U/KEP/3/1967 ).              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar