HUKUM dan MASYARAKAT
Hukum merupakan suatu
hal yang terhitung sulit untuk didefenisikan. Karena mengapa, hukum hampir
menyentuh seluruh aspek-aspek dan dimensi kehidupan dalam masyarakat. Hukum
secara etimologis: berasal dari kata law
(Inggris) yang artinya Undang-undang dan hukum itu sendiri. Dan juga dalam
bahasa Arab berasal dari kata: hukmum, yang artinya patokan, dasar, dan tolok
ukur dalam bertingka laku. Hukum merupakan keseluruhan kaidah-kaidah dan
aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang sifatnya mengikat, memerintah dan
memaksa. Dan apabila dilanggar maka akan mendaptkan sanksi. Baik hukum tertulis
maupun hukum yang tidak tertulis.
Masyarakat secara
etimologis berasal dari kata Social (Inggris)
yang artinya masyarakat dan tengtang kemasyarakatan. Masyarakat merupakan
kumpulan individu-individu dan membentuk kelompok-kelompok yang saling berinteraksi dan membangun relasi
timbal balik satu dengan yang lainnya. Dan seperti halnya Emile Durkheim, saya
juga menganggap masyarakat sebagai laboratorium raksasa. Kenapa begitu ?
Masyarakat lah yang menjadi lahan untuk analisis empiris Teori keilmuan.
Kehidupan masyarakat akan berjalan dengan baik apabila terjalin interaksi
secara ajeg dan positif.
Hubungan
hukum dan masyarakat.
Polarisasi kehidupan
masyarakat memang berbeda-beda seperti yang dikatakan oleh ilmuan-ilmuan sosial
pada umumnya. Hukum dan masyarakat sejatinya
adalah sesuatu yang tak dapat terpisahkan. Seperti halnya adagium hukum
yang mengatakan, “ di mana ada masyarakat
di situ ada hukum”. Jadi, memang selalu muncul logika-logika sosial bahwa hukum merupakan bagian mutlak
dalam masyrakat. Demi tercapainya masyarakat yang tertib (Social order) maka dibutuhkanlah hukum. Ketika gejolak
masalah-sosial muncul, disitulah hukum itu berfungsi sebagaimana mestinya.
Hukum sebagai pemecah
masalah (problem solving) dan itulah
sebenarnya tujuan hukum dalam menangani permasalahan kemasyarakatan. Selain itu
tujuan hukum ada tiga yang harusnya hadir dan hidup dalam masyarakat,seperti Keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Tak bisa pula dipungkiri dan dielakkan kalau
ketiga tujuan hukum itu kadang diabaikan oleh penegak hukum.
Hukum
Indonesia sekarang ini lebih berorientasi pada tradisi jual beli perkara. Siapa
yang menginginkan keadilan maka dengan mudah untuk dibeli, atau sering kita
dengar istilah KUHP dan plesetkan dengan
kalimat “Kasi’ uang habis perkara”. Orang yang berduit atau orang kaya
tentu terbedakan dengan orang miskin
atau proletariat (perspektif Karl marx). Yang kaya tinggal bayar, dan yang miskin
mendekam dalam jeruji besi penjara. Layaknya jaring laba-laba, siapa yang
kuat akan terlepas dan yang lemah akan
terperangkap.
Dengan
kondisi kekinian, melihat hukum kewalahan atau bahkan dipermainkan, semoga hukum
tidak terjebak dalam dilema kesosialan semata tetapi harus juga bersinergis
dengan reformasi hukum (law-reform) dan
perkembangan hukum (law-develovment)
yang senantiasa mampu beradaptasi secara aktif dalam lika-liku dan hiruk-pikuk
realitas kemasyarakatan. Tidak lagi seperti personifikasi pisau, tajam dibawah
dan tumpul di atas. Artinya, hanya menindaki yang berada dalam kalangan akar
rumput (lemah,bawah) tetapi yang
pejabat-pejabat tinggi tidak adili dan malah eksentriknya lagi, lantas terbebas
dari perkara.
Maka dari itu guna menganalisis persoalan hukum dan masyarakat, yang paling urgent adalah bagaimana kita membangun kesadaran kritis menghadapi masalah krusial seperti itu. Sehingga hukum di negeri kita tetap ditegakkan sebagaimana mestinya.
Maka dari itu guna menganalisis persoalan hukum dan masyarakat, yang paling urgent adalah bagaimana kita membangun kesadaran kritis menghadapi masalah krusial seperti itu. Sehingga hukum di negeri kita tetap ditegakkan sebagaimana mestinya.
Febri Ramadhani
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar