INDONESIA DALAM
BAHASAN IMPLISIT
Tulisan berantakan (Maaf masih
belajar nulis; Bulan April (4) 2014)
Indonesia sebagai bangsa yang besar dan kaya akan
sumber daya alam, begitu pula dengan kuantitas penduduk yang berjuta-juta.
Suatu statment yang terbantahkan. Wilayah
yang luas jika ditinjau dari konteks geografis, sumber daya alam yang melimpah dan tumpah
ruah, sebab bentangan alam yang begitu mempesona dan ditunjang akan utilitasnya. Masyarakat yang begitu
pluralistik dari segi sosial, agama, dan
kebudayaan. Contohnya : apa- apa yang dilakukan masyarakat satu, tentu ada
disparitas tersendiri yang tak mampu termutlakkan harus sama dengan masyarakat lainnya, agama
yang berbeda-beda, begitu pula dengan
hasil kebudayaan yang berpangkal pada konsep tradisi pemikiran dan adat
istiadat yang mereka anut.
Hakikat
Masyarakat
Pada dasarnya semua masyarakat adalah hal objektif
yang berangkat dari hal-hal subjektif yang berkembang. Artinya masyarakat
secara hakikat (ontologis) berasal dari individu itu sendiri. Dan individu itu
berasal dari entitas yang menjadi titik akhir yaitu Manusia. Secara sistematis,
manusialah yang pertama. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles dalam pemikiran terhadap manusia sebagai makhluk
yang berpikir: Manusia sebagai makhluk individu, manusia sebagai Makhluk
sosial.
Jadi jelas, bahwa ada sebuah penjarakan yang konkrit
diantara kajian hakikat (ontologis). Manusialah yang membentuk individu, secara
alamiah (nature) tidak ada manusia
yang bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Maka dari itulah manusia ingin membentuk
kelompok-kelompok kolektif yang mampu bekerja sama. Secara tidak langsung ada
keajegan sosial yang lahir: yang menopang dan menjadi patron bagi
terselengaggaranya masyarakat sosial. Di indonesia misalnya: yang kita kenal
dari sudut kesejarahan: ada Proto melayu dan Deutoro melayu. Proto Melayu yang
terdiri dari Etnis Tennger dan Toraja yang lebih dulu masuk, dan Deutoro Melayu
yang terdiri dari Etnis-etnis baru. Mengapa saya katakan baru, karena datang
sesudah adanya proto melayu (melayu tua). Etnis dari rahim deutoro melayu yaitu
seperti Suku bugis, Mandar, Dayak, dll. Ditilik dari pernyataan-pernyataan
diatas, sesuatu yang lazim kalau kita langsung menjastifikasi bahwa Indonesia
memang pluralistik.
Itulah tadi akar-akar serabut yang melekat pada
masyarakat Indonesia. Begitu banyak pula persepsi yang di alamatkan untuk Indonesia. Mulai dari
bangsa yang yang kompleksitanya yang sangat beragam akan macam dan jenis,
sebangai bangsa yang rama-tamah, sopan santun dan toleransi. Tapi kesemuanya
itu lantas dipertanyakan eksistensinya sekarang ini. Apakah benar Indonesia
masih seperti yang dikatakan oleh orang-oarng luar ? Hal tersebut memerlukan
pengkajian dialektika kritis sebagai solusi yang mumpuni. Masyarakat indonesia
mengiginkan Negara ini agar tetap lebih baik untuk masa depan, seperti yang
dikatakan Nurcholish Madjid : kita
harus menuju masa depan yang membebaskan. Dengan impian lebih bekembang dan
maju sehingga dapatlah dikatakan sebagai negara maju dan setingkat lebih maju
dengan negara-negara besar di dunia Internasional.
Ancaman budaya
luar
Ketika budaya-budaya luar, masuk ke dalam pori-pori
dan persendian masyarakat Indonesia, maka mau tidak mau, memilih tidak memilih
akan berdampak pada perubahan sosial keagamaan, kebudayaan baik itu positif
maupun negatif. Secara Perlahan-lahan
budaya itu akan merembes kuat untuk masuk menembusnya. Terjadilah gradasi
sosial kebudaayaan: Yang melahirkan fenomena-fenomena sosial yang mengejutkan.
Mungkin akan terjadi penetrasi, atau bahkan akulturasi budaya yang apabila
masyarakat Indonesia tidak memiliki karakter yang kuat, pondasi yang tak mampu
tergoyahkan, maka yakin dan percaya akan terbawa arus dan terombang-ambingkan
oleh derasnya perubahan sosial (social
change). Baik perubahan sosial yang berasal dari luar maupun perubahan yang
berasal dari dalam, perubahan sosial yang dikehendaki maupun yang tidak
dikehendaki.
Kebudayaan barat misalnya yang begitu banyak masuk
dan merangsek kultur Indonesia. Pada hal kan budaya barat itu banyak
sekali yang kurang sesuai atau bahkan
tidak sesuai dengan Masyarakat Indonesia. Barat yang Identik dengan hedonis,
sekularis, dan Individualistis. Indonesia yang Identik dengan, pecinta Budaya
tradisional, religius, dan masih terikat rasa kolektivitasnya. Memang tidak
bisa dipungkiri bahwa sudah mulai ada pergeseran budaya. Indonesia mulai
terjangkit yang namanya westernisasi
akibat ditembusnya pori-pori budaya kita. Tentu kita telah tergoyahkan. Ketika
perilaku remaja yang selalu mengejar kesenangan sesaat yang ada di dunia ini,
Orang tua yang tidak lagi menjadi tampat yang nyaman baginya untuk
bersosisalisasi (primer) dan bertukar
pendapat, jika dia menghadapi sebuah masalah. Pelampiasan atas masalah yang
dihadapi dituangkan dalam bentuk meminum minuman keras yang membuatnya hilang kesadaran, atau
dengan spontanitasnya menjadi hedonis. Padahal yang menjadi penentu keberhasilan bangsa dan negara ini adalah
kalangan generasi muda nantinya.
Tidak sama dengan negara yang ada Amerika, Eropa
dll, dari segi kependudukan dan kuantitas yang berada pada tingkatan piramida
yang paling atas adalah orang dewasa. Orang dewasalah yang paling banyak di sana.
Secara otomatis ketika kalangan muda kita mengalami gejala-gejala sosial yang tidak
baik, maka masa depan kita akan hancur (broken).
Kita tidak lagi memiliki landasan, acuan , kerangka sosial produktif yang
kokoh. Orang barat yang sering
dilemparkan isu, misalnya sekuler, hedonis, dan individualistis. Sekuler dalam
artian di sini mereka cenderung memisahkan urusan agama dan urusan duniawi.
Katanya, mestinya dipisahkan. Mereka berargumen seperti itu, mungkin saja
dikalangannya ada yang tidak percaya yang namanya akhirat dan hanya percaya
pada kehidupan meteri atau duniawi.
Kaum yang mengasumsikan bahwa agama dan duniawi
punya relasi tapi mestinya dipisahkan, itulah sekularisme. Yang mengatakan
agama dan duniawi itu harus dipisahkan karena sama-sekali tidak memiliki
relasional apapun Munurut saya itulah komunisme. Kita lihat dari konteks yang
sekarang ini, masyarakat lemah dari aspek resistensi dan kepercayaan. Ketika
sekularisme menyeruak , apakah masih adanya kemungkinan terjadi unifikasi ?
guna mengonsolidasikan budaya-budaya yang baik dan diaplikasikan pada kehidupan
praksis. Ketika agama saja yang mestinya dipisahkan, bagaimana dengan
konsepsi multikulturlisme dan pluralisme
yang kita idam-idamkan? Harus diakui bahwa kesemuanya itu terjadi tidak pernah
terlepas yang namanya perkembangan Zaman. Misalnya saja zaman primitif menuju
zaman modernisasi. Komponen-komponen seperti itu yang mendukung namanya
globalisasi.
Orang barat yang memakai alat-alat modern yang
begitu canggih, tentu akan lahir dan timbul rasa keengganan tersendiri dari
kalangan orang-orang timur. Dari segi produktivitas barat lebih cepat dalam
menghasilkan, kualitas barat lebih unggul, sedangkan kita masih
merangkak-rangkak dalam perubahan sosial.
Dari segi itulah kita dimasuki dan terakumulasi dengan budaya-budaya luar.
Begitu gampang tersekap. Maka solusi alternatifnya, giringlah diri anda sebagai
bagian dari masyarakat untuk mencintai budaya lokal yang bukan berarti
menjelekkan budaya-budaya asing, bukan pula primordialisme ataupun
entnosentrisme lokal yang kita kesampingkan dan hiraukan. Sehingga kita begitu
mudah menyesuaikan diri (adaptasi budaya) secara perlahan bergerak menuju unifikasi
bukan sekularisasi, yang menjadi patron majunya bangsa dan negara ini.
Febri Ramadhani
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar