Jumat, 13 Februari 2015

Indonesia dalam Bahasan Implisit

INDONESIA DALAM BAHASAN IMPLISIT
Tulisan berantakan (Maaf masih belajar nulis; Bulan April (4) 2014)

Indonesia sebagai bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya alam, begitu pula dengan kuantitas penduduk yang berjuta-juta. Suatu statment yang terbantahkan. Wilayah yang luas jika ditinjau dari konteks geografis,  sumber daya alam yang melimpah dan tumpah ruah, sebab bentangan alam yang begitu mempesona dan ditunjang  akan utilitasnya. Masyarakat yang begitu pluralistik dari segi sosial,  agama, dan kebudayaan. Contohnya : apa- apa yang dilakukan masyarakat satu, tentu ada disparitas tersendiri yang tak mampu termutlakkan  harus sama dengan masyarakat lainnya, agama yang berbeda-beda, begitu pula dengan  hasil kebudayaan yang berpangkal pada konsep tradisi pemikiran dan adat istiadat yang mereka anut.

Hakikat Masyarakat

Pada dasarnya semua masyarakat adalah hal objektif yang berangkat dari hal-hal subjektif yang berkembang. Artinya masyarakat secara hakikat (ontologis) berasal dari individu itu sendiri. Dan individu itu berasal dari entitas yang menjadi titik akhir yaitu Manusia. Secara sistematis, manusialah yang pertama. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles dalam  pemikiran terhadap manusia sebagai makhluk yang berpikir: Manusia sebagai makhluk individu, manusia sebagai Makhluk sosial.

Jadi jelas, bahwa ada sebuah penjarakan yang konkrit diantara kajian hakikat (ontologis). Manusialah yang membentuk individu, secara alamiah (nature) tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Maka dari itulah manusia ingin membentuk kelompok-kelompok kolektif yang mampu bekerja sama. Secara tidak langsung ada keajegan sosial yang lahir: yang menopang dan menjadi patron bagi terselengaggaranya masyarakat sosial. Di indonesia misalnya: yang kita kenal dari sudut kesejarahan: ada Proto melayu dan Deutoro melayu. Proto Melayu yang terdiri dari Etnis Tennger dan Toraja yang lebih dulu masuk, dan Deutoro Melayu yang terdiri dari Etnis-etnis baru. Mengapa saya katakan baru, karena datang sesudah adanya proto melayu (melayu tua). Etnis dari rahim deutoro melayu yaitu seperti Suku bugis, Mandar, Dayak, dll. Ditilik dari pernyataan-pernyataan diatas, sesuatu yang lazim kalau kita langsung menjastifikasi bahwa Indonesia memang pluralistik.

Itulah tadi akar-akar serabut yang melekat pada masyarakat Indonesia. Begitu banyak pula persepsi yang  di alamatkan untuk Indonesia. Mulai dari bangsa yang yang kompleksitanya yang sangat beragam akan macam dan jenis, sebangai bangsa yang rama-tamah, sopan santun dan toleransi. Tapi kesemuanya itu lantas dipertanyakan eksistensinya sekarang ini. Apakah benar Indonesia masih seperti yang dikatakan oleh orang-oarng luar ? Hal tersebut memerlukan pengkajian dialektika kritis sebagai solusi yang mumpuni. Masyarakat indonesia mengiginkan Negara ini agar tetap lebih baik untuk masa depan, seperti yang dikatakan Nurcholish Madjid : kita harus menuju masa depan yang membebaskan. Dengan impian lebih bekembang dan maju sehingga dapatlah dikatakan sebagai negara maju dan setingkat lebih maju dengan negara-negara besar di dunia Internasional.

Ancaman budaya luar

Ketika budaya-budaya luar, masuk ke dalam pori-pori dan persendian masyarakat Indonesia, maka mau tidak mau, memilih tidak memilih akan berdampak pada perubahan sosial keagamaan, kebudayaan baik itu positif maupun negatif.  Secara Perlahan-lahan budaya itu akan merembes kuat untuk masuk menembusnya. Terjadilah gradasi sosial kebudaayaan: Yang melahirkan fenomena-fenomena sosial yang mengejutkan. Mungkin akan terjadi penetrasi, atau bahkan akulturasi budaya yang apabila masyarakat Indonesia tidak memiliki karakter yang kuat, pondasi yang tak mampu tergoyahkan, maka yakin dan percaya akan terbawa arus dan terombang-ambingkan oleh derasnya perubahan sosial (social change). Baik perubahan sosial yang berasal dari luar maupun perubahan yang berasal dari dalam, perubahan sosial yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki.

Kebudayaan barat misalnya yang begitu banyak masuk dan merangsek kultur Indonesia. Pada hal kan budaya barat itu banyak sekali  yang kurang sesuai atau bahkan tidak sesuai dengan Masyarakat Indonesia. Barat yang Identik dengan hedonis, sekularis, dan Individualistis. Indonesia yang Identik dengan, pecinta Budaya tradisional, religius, dan masih terikat rasa kolektivitasnya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sudah mulai ada pergeseran budaya. Indonesia mulai terjangkit yang namanya  westernisasi akibat ditembusnya pori-pori budaya kita. Tentu kita telah tergoyahkan. Ketika perilaku remaja yang selalu mengejar kesenangan sesaat yang ada di dunia ini, Orang tua yang tidak lagi menjadi tampat yang nyaman baginya untuk bersosisalisasi (primer) dan bertukar pendapat, jika dia menghadapi sebuah masalah. Pelampiasan atas masalah yang dihadapi dituangkan dalam bentuk meminum minuman  keras yang membuatnya hilang kesadaran, atau dengan spontanitasnya menjadi hedonis. Padahal yang menjadi  penentu keberhasilan bangsa dan negara ini adalah kalangan generasi muda  nantinya.
              
Tidak sama dengan negara yang ada Amerika, Eropa dll, dari segi kependudukan dan kuantitas yang berada pada tingkatan piramida yang paling atas adalah orang dewasa. Orang dewasalah yang paling banyak di sana. Secara otomatis ketika kalangan muda kita mengalami gejala-gejala sosial yang tidak baik, maka masa depan kita akan hancur (broken). Kita tidak lagi memiliki landasan, acuan , kerangka sosial produktif yang kokoh.  Orang barat yang sering dilemparkan isu, misalnya sekuler, hedonis, dan individualistis. Sekuler dalam artian di sini mereka cenderung memisahkan urusan agama dan urusan duniawi. Katanya, mestinya dipisahkan. Mereka berargumen seperti itu, mungkin saja dikalangannya ada yang tidak percaya yang namanya akhirat dan hanya percaya pada kehidupan meteri atau duniawi.

Kaum yang mengasumsikan bahwa agama dan duniawi punya relasi tapi mestinya dipisahkan, itulah sekularisme. Yang mengatakan agama dan duniawi itu harus dipisahkan karena sama-sekali tidak memiliki relasional apapun Munurut saya itulah komunisme. Kita lihat dari konteks yang sekarang ini, masyarakat lemah dari aspek resistensi dan kepercayaan. Ketika sekularisme menyeruak , apakah masih adanya kemungkinan terjadi unifikasi ? guna mengonsolidasikan budaya-budaya yang baik dan diaplikasikan pada kehidupan praksis. Ketika agama saja yang mestinya dipisahkan, bagaimana dengan konsepsi  multikulturlisme dan pluralisme yang kita idam-idamkan? Harus diakui bahwa kesemuanya itu terjadi tidak pernah terlepas yang namanya perkembangan Zaman. Misalnya saja zaman primitif menuju zaman modernisasi. Komponen-komponen seperti itu yang mendukung namanya globalisasi.

Orang barat yang memakai alat-alat modern yang begitu canggih, tentu akan lahir dan timbul rasa keengganan tersendiri dari kalangan orang-orang timur. Dari segi produktivitas barat lebih cepat dalam menghasilkan, kualitas barat lebih unggul, sedangkan kita masih merangkak-rangkak dalam perubahan sosial.  Dari segi itulah kita dimasuki dan terakumulasi dengan budaya-budaya luar. Begitu gampang tersekap. Maka solusi alternatifnya, giringlah diri anda sebagai bagian dari masyarakat untuk mencintai budaya lokal yang bukan berarti menjelekkan budaya-budaya asing, bukan pula primordialisme ataupun entnosentrisme lokal yang kita kesampingkan dan hiraukan. Sehingga kita begitu mudah menyesuaikan diri (adaptasi budaya) secara perlahan bergerak menuju unifikasi bukan sekularisasi, yang menjadi patron majunya bangsa dan negara ini.

Febri Ramadhani
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar