Ditulis: Bulan Mei 2014.
-Dalam perspektif Penguasa yang
memegang kuasa totalitas, sekaligus penegak Hukum dan imbasnya pada Krisis
multidimensional Rakyatnya.
Hukum terdiri dari segenap komposisi
konstruktif seperti aturan, perintah,
larangan, sanksi,. Sifatnya yang mengatur, mengikat dan memaksa. Manusia
diantar oleh hukum melalui kendaraan formal-prosedural, di mana kendaraan itu
membatasi langkah karena ban kendaran sedang berjalan menuju tujuan. Tujuan itu
sangat sulit untuk dicapai, begitu mudah untuk dipetakan dan diretorikakan. Kadangkala
pengemudi itu yang melepaskan kendali, ia salah arah dan mempermalukan dirinya
sendiri sebagai seorang pengemudi.
Padahal kan dia yang lebih tau
tengtang hal itu. Makanya pengemudi itu harus di Hukum. Hukuman karena
melanggar, dan menggelindingkan yang dikemudinya. Banyak sekali
penonton-penonton yang kecewa dan marah. Mereka bilang, hukum mati saja sang
pengmudi itu, ia tak becus menjadi pengemudi. Sebelum-sebelumnya kan pernah
berjanji untuk mematuhi peraturan, bahkan dia sendiri yang membuat peraturan.
Yang sakral mulai dilanggar, yang tak sakral adalah kebiasaan untuk dilanggar.
Begilulah kisah yang bertemparamen
pada bangsa dan negara ini. Orang –orang terhormat tak lagi terhormat, orang
terpandang tak lagi terpandang. Eksistensi mereka hanyalah figur label
pemanis, tapi membuat kepahitan setiap
makanan-makanan yang disajikan dan dihidangkan pada masyarakat. Racun-racun
akan segera terlancarkan segera, untung ada penghadang ampuh yang mampu
memasuki peracun itu. Katakanlah aparat yang memiliki segenap otoritas
dibanding kita sebagai rakyat kecil, proletariat, rakyat jelata yang menjadi
mayoritas pengaduh dan menganggu tidu-tidur lelap sang raja.
Raja yang sudah kenyang langsung
tidur sedangkan rakyatnya yang sudah bekerja langsung memungut kepulan-kepulan
kerjaannya. Anaknya yang menangis kelaparan, cucu-cucu raja bertengkar harta,
ibu yang tak pernah merasakan tidur nyeyak dan pikiran tenang-tentram.
“Oh,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Raja ku yang paling mulia, berikan kami secercah kehidupan seperti Tuhan
mengasihimu. Aku yang lemah tak berdaya,,,,, engkau yang kuat lantas berkuasa.
Jangan Tindas kami, sedang aku hanya mengiginkan tiga darimu, Berikan kami kebebasan: jangan rampas hak kami, Persamaan: bukan diskriminasi atas
asing terhadap pribumi, Persaudaraan, saling
mengasihi, toleransi atas semua pihak dan strata sosial. Kami sangat memohon
kepada sang raja agar terabangkanlah keadilan kepada kami, kebahagian kepada kami,
perasaudaraan kepada kami. Engkau yang merasa berkecukupan, (sandang,pangan,dan
papan), sementara kami hanya meminta
untuk makan,,,,,,,,,,,,,,,,,,sang Raja”.
Apakah engkau tega melihat rakyatmu, mati kelaparan,terkatung-katung dalam
keterbatasan, teluntah-luntah karena
berpindah-pindah tak memiliki tempat tingggal. Sembari mengangkat tangan
mayoritas rakyat”... menangis, menjerit sakit. Kami hanyalah seekor semut yang
berkeliaran mencari makanan, ada pula engkau hedonis di istana besarmu , engkau
seperti singa yang berkuasa di hutan rimba. Tanah yang begitu luasnya kau
tempati, yang mampu dihinggapi ribuan orang, sementara engkau hanya tinggal
berlima, bersama keluargamu. Prajurit-prajuritmu yang semestinya menolong kami
dikala kesusahan malah menghianati kami, menghardik kami sang Raja.........!!!
“Begitukah
yang disebut sorang pemimpin dan Raja??????
“Raja,,,,,,,?
“Jawab pertanayan kami”.! Kami membutuhkan jawaban atas pertanyaan itu”.
Sang Raja
acukan hal itu. Karena merasa tidak penting maka sang Raja bergegas menuju
tempat tidur bersama istrinya. Istrinya yang begitu cantik jelita , manis yang
membuat lelaki siapapun tergoda dan terjatuh akan pesonanya, gradasi warna
pipih yang merona,,,,,, membuat sang raja ingin mencicipinya, membelainya.
Pada saat
sang ratu hendak dicium,,,.....ia sembari dengan lemah lembut mengatakan jangan
dulu,
“Sang raja
menjawab, apa yang ingin kau katakan istriku? Apakah kau ingin harta, kalau
perlu seluruh harta yang aku miiki silahkan kau ambil, ! Tapi dengan satu syarat
kau harus mempunyai anak dariku sebagai penerus kerajaan ini”. Ujar sang raja.
Sang Ratu
mengatakan, “ya aku terima...”! Diteruskanlah apa yang diinginkan sang
Raja. Tidak lama kemudian, Ratu lagi
mengelak untuk melanjutkan hal itu. Dengan dalih dan alasan , apakah engkau
tidak pernah menyadari bahwa, sang raja itu memiliki tanggung jawab? Ia harus
memikul beban-beban rakyat ? Sementara itu, ayahmu sebelum mati, pernah
berpesan kalau sampai nanti akhir hayatku tiba, maka biarkanlah pangeran (raja sekarang)
yang mengambil alih estafet kepemimpinan .
Kuharapkan
ia selalu belajar kepada orang yang ada di atasmu, berbahagia kepada orang yang
ada disampingmu, dan memperhatikan orang-orang yang ada di bawahmu. Itulah
pesan sang raja, yang merupakan ayahmu sendiri.
Sang Raja
pun langsung sadar, dan mencium kembali kening istrinya tercinta.
Keesokan
harinya, tepatnya ketika mentari mulai bemunculan mengambil posisi, burung-burung mengepakkan sayap kecilnya
untuk terbang kesana- kemari, Raja lalu mengambil pakaian dan bajunya yang
sering dan selalu dipakai keluar istana. ..........”.
Alangkah
terkejutnya”,,,,...ketika melihat rakyatnya menjerit sana-sini, kain putih sebagai
bendera bertebaran disetiap atap gubuk-gubuk rakyatnya.
Dengan
sigap, dan gegap gempita raja bertanya kepada diri sendiri, apakah yang terjadi ?
Dia melihat
anak kelaparan, rakyat saling membunuh karena nasinya dicuri. Raja pun memutar
arah dan kembali ke istana, karena enggan untuk melanjutkan perjalanan.
Setibanya di istana, dan ia langsung bertanya kepada sang ratu(istri Raja)
apakah engkau, istriku tidak pernah keluar isatana melihat keadaan
rakyat,.............????
Sang istri
menjawab, akau selalu keluar mengintainya suamiku. Aku memberikan makan bagi
anak-anak kecil, tapi aku tidak mampu
melakukan semuanya, dan hanya sedikit yang bisa aku lakukan. ,” Raja pun
tiba-tiba sadar, dan menghembuskan nafas panjang.
“besok
kiata akan pergi ke rumah-rumah rakyat, melihat apa yang mereka rasakan, yang
mungkin tak pernah kita rasakan sebelumnya” ujar sang raja,,,,.! Sang istri
menjawab dengan senang hati, “iya suamiku”.
Mereka
membawa kebutuhan-kebutuhan apa yang perlukan oleh rakyatnya. Ketika sampainya
di tempat tujuan, rumah rakyatnya”...........keheranannya bertambah , ternyata
rakyatnya tidak tinggal di rumah, tapi di gubuk-gubuk yang mereka tempati.
Ketika Sang
Raja melihat dan masuk ke dalam gubukcsang raja pun kaget dan sontak meneteskan
air mata karena pada saat itu ada seorang anak kecil yang kering-kerontang lagi
pula sangat kurus. Kulitnya hitam, matanya melotot tau biasa dikatakan
tulangnya hampir patah tanpa bungkusan daging. Dua jam kemudian anak itu pun
terlihat semakin lemas tak berdaya dan nafasnya sedikit demi sedikit mulai
susah untuk di keluarkan, selaksa ikan yang dilepas di daratan.
Tidak lama
berselang, Raja memegang tangan anak itu, karena lama-kelamaaan desingan
suranya semakin menjerit sungsang. Dan anak itu pun mati. Istrinya pun
menanyakan hal itu kepada ibunya, “ibu,
kenapa anak ini sangat kurus? Ibun anak itupin menjawab, selam 3 hari ia tidak
pernah makan. Jawab ibu sambil menangis.” Tangis ibu itu yang tiada
henti-hentinya melihat anaknya mati. Pada hal anak itupun anak satu-satunya
yang sangat di cintai.
Sang Raja
pun pulang ke Istana, dan merenungi semua yang terjadi pada Rakyatnya. Kata
hati sang raja” Makanan, makananlah yang membuat seseorang hidup, saya pun
pernah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, rakyatku meregang nyawa hanya
karena tidak pernah makan. Lantas makanan yang ada di pelataran Istana ini
busuk, akibat tidak ada yang memakannya.
Keesokan
harinya, semua makanan yang ada di
Pelataran Isatana pun diturunkan ke rumah-rumah rakyat. Pada saat itu rakyat sangatlah senang
atas pemberian itu. Mereka memakan dengan lahap dan riang gembira. Kebahagiaan
itu tampak ketika Rakyat menangis haru menikmati makanan pemberian Raja.
Sepuluh tahun kemudian rakyat kerajaan itu hidup makmur dan senagntiasa berbaur
dan menyatu dengan Penghuni Istana. Persaudaraan terjalin dengan baik, tidak
ada diskriminasi sosial. Kulit hitam dan kulit putih tak lagi berselisih,
karena hal-hal yang tidak penting. Semuanya pun sejahtera dalam bermasyarakat.
Menatap Istana dengan gemetar,
Menghayalkan keadilan yang tak
sampai,
Menghisap bau tanah dengan gentar,
Halalkan sentilan sambil melambai.
Dalam lantunan aku memberontak,
terjadi maka terjadilah !
Kicauan Burung yang tersembunyi.
Febri Ramadhani
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Alauddin
Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar