Sabtu, 28 Februari 2015

“Hukum dan Cerita “kuasa” Berantakan “

Ditulis: Bulan Mei 2014.

-Dalam perspektif Penguasa yang memegang kuasa totalitas, sekaligus penegak Hukum dan imbasnya pada Krisis multidimensional Rakyatnya.

Hukum terdiri dari segenap komposisi konstruktif seperti  aturan, perintah, larangan, sanksi,. Sifatnya yang mengatur, mengikat dan memaksa. Manusia diantar oleh hukum melalui kendaraan formal-prosedural, di mana kendaraan itu membatasi langkah karena ban kendaran sedang berjalan menuju tujuan. Tujuan itu sangat sulit untuk dicapai, begitu mudah untuk dipetakan dan diretorikakan. Kadangkala pengemudi itu yang melepaskan kendali, ia salah arah dan mempermalukan dirinya sendiri sebagai seorang pengemudi.

Padahal kan dia yang lebih tau tengtang hal itu. Makanya pengemudi itu harus di Hukum. Hukuman karena melanggar, dan menggelindingkan yang dikemudinya. Banyak sekali penonton-penonton yang kecewa dan marah. Mereka bilang, hukum mati saja sang pengmudi itu, ia tak becus menjadi pengemudi. Sebelum-sebelumnya kan pernah berjanji untuk mematuhi peraturan, bahkan dia sendiri yang membuat peraturan. Yang sakral mulai dilanggar, yang tak sakral adalah kebiasaan untuk dilanggar.

Begilulah kisah yang bertemparamen pada bangsa dan negara ini. Orang –orang terhormat tak lagi terhormat, orang terpandang tak lagi terpandang. Eksistensi mereka hanyalah figur label pemanis,  tapi membuat kepahitan setiap makanan-makanan yang disajikan dan dihidangkan pada masyarakat. Racun-racun akan segera terlancarkan segera, untung ada penghadang ampuh yang mampu memasuki peracun itu. Katakanlah aparat yang memiliki segenap otoritas dibanding kita sebagai rakyat kecil, proletariat, rakyat jelata yang menjadi mayoritas pengaduh dan menganggu tidu-tidur lelap sang raja.

Raja yang sudah kenyang langsung tidur sedangkan rakyatnya yang sudah bekerja langsung memungut kepulan-kepulan kerjaannya. Anaknya yang menangis kelaparan, cucu-cucu raja bertengkar harta, ibu yang tak pernah merasakan tidur nyeyak dan pikiran tenang-tentram.

“Oh,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, Raja ku yang paling mulia, berikan kami secercah kehidupan seperti Tuhan mengasihimu. Aku yang lemah tak berdaya,,,,, engkau yang kuat lantas berkuasa. Jangan Tindas kami, sedang aku hanya mengiginkan tiga darimu, Berikan kami kebebasan: jangan rampas hak kami, Persamaan: bukan diskriminasi atas asing terhadap pribumi, Persaudaraan, saling mengasihi, toleransi atas semua pihak dan strata sosial. Kami sangat memohon kepada sang raja agar terabangkanlah keadilan kepada kami, kebahagian kepada kami, perasaudaraan kepada kami. Engkau yang merasa berkecukupan, (sandang,pangan,dan papan),  sementara kami hanya meminta untuk makan,,,,,,,,,,,,,,,,,,sang Raja”.
Apakah engkau tega melihat rakyatmu, mati   kelaparan,terkatung-katung dalam keterbatasan, teluntah-luntah  karena berpindah-pindah tak memiliki tempat tingggal. Sembari mengangkat tangan mayoritas rakyat”... menangis, menjerit sakit. Kami hanyalah seekor semut yang berkeliaran mencari makanan, ada pula engkau hedonis di istana besarmu , engkau seperti singa yang berkuasa di hutan rimba. Tanah yang begitu luasnya kau tempati, yang mampu dihinggapi ribuan orang, sementara engkau hanya tinggal berlima, bersama keluargamu. Prajurit-prajuritmu yang semestinya menolong kami dikala kesusahan malah menghianati kami, menghardik kami sang Raja.........!!!

“Begitukah yang disebut sorang pemimpin dan Raja??????
“Raja,,,,,,,? “Jawab pertanayan kami”.! Kami membutuhkan jawaban atas pertanyaan itu”.
Sang Raja acukan hal itu. Karena merasa tidak penting maka sang Raja bergegas menuju tempat tidur bersama istrinya. Istrinya yang begitu cantik jelita , manis yang membuat lelaki siapapun tergoda dan terjatuh akan pesonanya, gradasi warna pipih yang merona,,,,,, membuat sang raja ingin mencicipinya, membelainya.
Pada saat sang ratu hendak dicium,,,.....ia sembari dengan lemah lembut mengatakan jangan dulu,
“Sang raja menjawab, apa yang ingin kau katakan istriku? Apakah kau ingin harta, kalau perlu seluruh harta yang aku miiki silahkan kau ambil, ! Tapi dengan satu syarat kau harus mempunyai anak dariku sebagai penerus kerajaan ini”. Ujar sang raja.
Sang Ratu mengatakan, “ya aku terima...”! Diteruskanlah apa yang diinginkan sang Raja.  Tidak lama kemudian, Ratu lagi mengelak untuk melanjutkan hal itu. Dengan dalih dan alasan , apakah engkau tidak pernah menyadari bahwa, sang raja itu memiliki tanggung jawab? Ia harus memikul beban-beban rakyat ? Sementara itu, ayahmu sebelum mati, pernah berpesan kalau sampai nanti akhir hayatku tiba, maka biarkanlah pangeran (raja sekarang) yang mengambil alih estafet kepemimpinan .
Kuharapkan ia selalu belajar kepada orang yang ada di atasmu, berbahagia kepada orang yang ada disampingmu, dan memperhatikan orang-orang yang ada di bawahmu. Itulah pesan sang raja, yang merupakan ayahmu sendiri.
Sang Raja pun langsung sadar, dan mencium kembali kening istrinya tercinta.
Keesokan harinya, tepatnya ketika mentari mulai bemunculan mengambil posisi,  burung-burung mengepakkan sayap kecilnya untuk terbang kesana- kemari, Raja lalu mengambil pakaian dan bajunya yang sering dan selalu dipakai keluar istana. ..........”.
Alangkah terkejutnya”,,,,...ketika melihat rakyatnya menjerit sana-sini, kain putih sebagai bendera bertebaran disetiap atap gubuk-gubuk rakyatnya.
Dengan sigap, dan gegap gempita raja bertanya kepada diri sendiri,  apakah yang terjadi ?
Dia melihat anak kelaparan, rakyat saling membunuh karena nasinya dicuri. Raja pun memutar arah dan kembali ke istana, karena enggan untuk melanjutkan perjalanan. Setibanya di istana, dan ia langsung bertanya kepada sang ratu(istri Raja) apakah engkau, istriku tidak pernah keluar isatana melihat keadaan rakyat,.............????
Sang istri menjawab, akau selalu keluar mengintainya suamiku. Aku memberikan makan bagi anak-anak kecil,  tapi aku tidak mampu melakukan semuanya, dan hanya sedikit yang bisa aku lakukan. ,” Raja pun tiba-tiba sadar, dan menghembuskan nafas panjang.
“besok kiata akan pergi ke rumah-rumah rakyat, melihat apa yang mereka rasakan, yang mungkin tak pernah kita rasakan sebelumnya” ujar sang raja,,,,.! Sang istri menjawab dengan senang hati, “iya suamiku”.
Mereka membawa kebutuhan-kebutuhan apa yang perlukan oleh rakyatnya. Ketika sampainya di tempat tujuan, rumah rakyatnya”...........keheranannya bertambah , ternyata rakyatnya tidak tinggal di rumah, tapi di gubuk-gubuk yang mereka tempati.
Ketika Sang Raja melihat dan masuk ke dalam gubukcsang raja pun kaget dan sontak meneteskan air mata karena pada saat itu ada seorang anak kecil yang kering-kerontang lagi pula sangat kurus. Kulitnya hitam, matanya melotot tau biasa dikatakan tulangnya hampir patah tanpa bungkusan daging. Dua jam kemudian anak itu pun terlihat semakin lemas tak berdaya dan nafasnya sedikit demi sedikit mulai susah untuk di keluarkan, selaksa ikan yang dilepas di daratan.
Tidak lama berselang, Raja memegang tangan anak itu, karena lama-kelamaaan desingan suranya semakin menjerit sungsang. Dan anak itu pun mati. Istrinya pun menanyakan hal itu kepada  ibunya, “ibu, kenapa anak ini sangat kurus? Ibun anak itupin menjawab, selam 3 hari ia tidak pernah makan. Jawab ibu sambil menangis.” Tangis ibu itu yang tiada henti-hentinya melihat anaknya mati. Pada hal anak itupun anak satu-satunya yang sangat di cintai.
Sang Raja pun pulang ke Istana, dan merenungi semua yang terjadi pada Rakyatnya. Kata hati sang raja” Makanan, makananlah yang membuat seseorang hidup, saya pun pernah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, rakyatku meregang nyawa hanya karena tidak pernah makan. Lantas makanan yang ada di pelataran Istana ini busuk, akibat tidak ada yang memakannya.
Keesokan harinya, semua makanan yang ada di  Pelataran Isatana pun diturunkan ke rumah-rumah  rakyat. Pada saat itu rakyat sangatlah senang atas pemberian itu. Mereka memakan dengan lahap dan riang gembira. Kebahagiaan itu tampak ketika Rakyat menangis haru menikmati makanan pemberian Raja. Sepuluh tahun kemudian rakyat kerajaan itu hidup makmur dan senagntiasa berbaur dan menyatu dengan Penghuni Istana. Persaudaraan terjalin dengan baik, tidak ada diskriminasi sosial. Kulit hitam dan kulit putih tak lagi berselisih, karena hal-hal yang tidak penting.  Semuanya pun sejahtera dalam bermasyarakat.

Menatap Istana dengan gemetar,
Menghayalkan keadilan yang tak sampai,
Menghisap bau tanah dengan gentar,
Halalkan sentilan sambil melambai.
Dalam lantunan aku memberontak, terjadi maka terjadilah !
Kicauan Burung yang tersembunyi.

Febri Ramadhani

Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar