PERLINDUNGAN
TERHADAP HAK MASYARAKAT ADAT DALAM INSTRUMEN HUKUM
Dalam sejarah membaca sejarah
pertanahan Indonesia, terdapat banyak sekali permasalahan tanah. Konflik/sengketa
tersebut sebagian besar terjadi disebabkan karena masalah tanah adat/tanah ulayat,
yang pada akhirnya membatasi akses masyarakat adat atas tanahnya sendiri,
termasuk menjadi terbatasnya pula akses terhadap sumber daya alam yang sejak
dulu ada dalam wilayah tanah adat mereka.
Mayoritas kasus yang terjadi, harus
diakui bahwa masyarakat adat dan pemerintah berada dalam posisi yang kurang
seimbang, walaupun sebenarnya secara filosofis terdapat asas equality before
the law. Posisi yang kurang seimbang tersebut seringkali berimbas pada
tertekannya masyarakat adat, terlebih ketika pemerintah menggunakan ‘hak
menguasai’ sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pertanyaannya, mengapa posisi
masyarakat adat seringkali nampak begitu tertekan ketika berhadapan dengan
pemerintah, tidakkah masyarakat adat terlindungi secara hukum? Sebelum menjawab
pertanyaan tersebut, terlebih dahulu akan coba dijelaskan mengenai pengertian
masyarakat adat itu sendiri.
Banyak istilah yang digunakan untuk
menyebut masyarakat adat, seperti istilah first people dikalangan
antropolog dan pembela HAM, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous
cultural communities di Filipina, serta bangsa asal dan orang asli di
Malaysia. Di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah disepakati
penggunaan istilah indigenous peoples sebagaimana tertuang dalam seluruh
dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi PBB, yaitu draft of the
United Nation Declaration on the Rights of the indegenius peoples.
Menurut Konvensi ILO 169 tentang
Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka, yang dimaksud
dengan masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di negara-negara yang
merdeka dimana kondisi sosial, kultural, dan ekonominya membedakan mereka dari
bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan yang statusnya diatur,
baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut
atau dengan hukum dan pengaturan khusus.
Menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, masyarakat adat
adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan. Menurut Konggres Masyarakat Adat Nusantara I (KMAN I) yang
tertuang dalam Keputusan KMAN No. 01/KMAN/1999 di bagian rumusan keanggotaan,
definisi masyarakat adat menurut KMAN I adalah kelompok komunitas yang memiliki
asal usul leluhur, secara turun temurun mendiami wilayah geografis tertentu
serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan
teritori sendiri.
Pengertian mengenai masyarakat adat
pun nampak dari beberapa pendapat ahli. Ter Haar memberikan istilah masyarakat
adat dengan istilah persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) yaitu
lingkungan-lingkungan teratur yang bersifat kekal, yang mempunyai kekuasaan
sendiri dan kekayaan sendiri baik berupa kejasmanian maupun kerohanian.
Definisi lain mengenai masyarakat adat diberikan oleh Bambang Supriyanto
sebagai suatu satuan komunitas yang memiliki asal usul leluhur secara turun
temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
ideologi, ekonomi, politik, budaya dan sosial yang khas.
Masyarakat adat dapat dibentuk
berdasarkan ikatan darah (geneologis) atau berdasarkan ikatan daerah (territorial).
Masyarakat adat geneologis adalah yang terdiri dari penduduk yang merasa
terikat semata-mata karena keturunan dari nenek moyang yang sama, sedangkan
masyarakat adat yang bersifat territorial adalah masyarakat adat yang
anggota-anggotanya merasa terikat kepada daerah tempat kediamannya yang
tertentu.
Berdasarkan pengertian tersebut,
lebih lanjut akan dijabarkan ketentuan hukum yang mengatur dan berkaitan dengan
perlindungan terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam, termasuk
di dalamnya tanah adat. Hal ini penting guna menjustifikasi validitas
bahwa hak masyarakat adat tersebut merupakan hak hukum sehingga sebenarnya
dapat dituntut keberlakuan dan penegakannya, sebab salah satu syarat bagi hak
hukum yaitu harus dapat dikonfirmasi dalam berbagai sumber-sumber hukum (lihat
posting sebelumnya mengenai hak hukum.
Dalam instrumen hukum Internasional
a.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Pasal 2 : “Setiap orang berhak atas
semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa pembedaan
dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan
sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya.”
Pasal 3 : “Setiap orang berhak atas
kehidupan, kemerdekaan dan keamanan pribadi.
Pasal 17.1 : “Setiap orang berhak
untuk memiliki harta benda baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang
lain.”
Pasal 17.2 : “Tidak seorangpun dapat
dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang.”
b.
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Pasal 1 butir 2 : “Semua rakyat
dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumber daya mereka sendiri,
tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul dari kerjasama ekonomi
internasional atas dasar prinsip keuntungan bersama serta hukum internasional.
Tidak dapat dibenarkan suatu bangsa merampas upaya penghidupan rakyatnya
sendiri.”
Pasal 2.2 : “Negara peserta Kovenan
ini berjanji menjamin agar hak yang diatur dalam kovenan ini dilaksanakan tanpa
diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pandangan politik atau lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,
kelahiran atau status lainnya.”
Pasal 25 : “Tidak ada satu hal pun
dalam kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat
dari semua bangsa (suku bangsa) untuk menikmati dan memanfaatkan kekayaan dan
sumber daya alam mereka secara bebas dan penuh.
c.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
Pasal 1 butir 2 : “Semua orang
dapat, untuk tujuan-tujuan mereka sendiri secara bebas mengatur segala kekayaan
dan sumber daya alam mereka sendiri tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang
mungkin timbul dari kerja sama ekonomi internasional atas dasar prinsip
keuntungan bersama dan hukum internasional. Dalam apapun tidak dibenarkan suatu
bangsa merampas upaya penghidupan rakyatnya sendiri.”
Pasal 47 : “Tiada sesuatu dalam
kovenan ini boleh ditafsirkan sebagai melemahnya hak yang pada setiap bangsa
untuk sepenuhnya dan sebebas-bebasnya menikmati dan memanfaatkan segala
kekayaan dan sumber daya alamnya.”
d.
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras
Pasal 1.3, yang menyatakan bahwa
tidak boleh ada diskriminasi ras, kecuali untuk memajukan kelompok ras yang
memerlukan perlindungan.
Pasal 5.d. tentang jaminan negara
untuk tanpa diskriminasi melindungi hak untuk memiliki kekayaan.
e.
Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Rakyat Tahun 1981
Pasal 21 butir 1 : “Semua rakyat
dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumber daya mereka. Hak ini
dilaksanakan atas kepentingan eksklusif bangsa. Tidak dapat dibenarkan suatu
bangsa merampas upaya penghidupannya sendiri.”
Pasal 21 butir 2 : “Dalam hal
perampasan, rakyat yang dirampas hak miliknya berhak mendapatkan kembali
penikmatan harta kekayaannya secara sah dan juga berhak mendapatkan kompensasi
yang memadai.”
f.
Konvensi Tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku Tahun 1989
Konsideran menimbang hal aspirasi
penduduk-penduduk asli dan penduduk suku untuk melaksanakan penguasaan atas
lembaga mereka sendiri, cara-cara hidup dan pembangunan ekonomi untuk
memelihara dan mengembangkan ciri-ciri khas mereka, bahasa dan agama di dalam
struktur negara-negara dimana mereka hidup.
Pasal 2 butir 1 : pemerintah
mempunyai tanggung jawab atas pembangunan, dengan partisipasi para penduduk
yang bersangkutan, tindakan yang terkoordinir dan sistematis untuk melindungi
hak-hak para penduduk ini serta menjamin penghormatan terhadap integritas
mereka.
Pasal 2 butir 2 : tindakan tersebut
akan mencakup langkah-langkah untuk :
1.
Menjamin
bahwa para anggota penduduk ini memperoleh manfaat atas dasar yang sama dari
hak dan kesempatan yang diberikan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan
nasional kepada para anggota penduduk yang lain.
2.
Meningkatkan
realisasi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya para penduduk ini sepenuhnya
dengan menghormati identitas sosial dan budaya mereka, kebiasaan dan tradisi
dan lembaga mereka.
3.
Membantu
para anggota yang bersangkutan untuk menghapus kesengajaan sosial, ekonomi yang
mungkin ada di antara penduduk asli dan para anggota masyarakat nasional yang
lain, dalam suatu cara yang sesuai dengan aspirasi dan cara hidup mereka.
Pasal 6 butir 1 : dalam
memberlakukan ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini, para pemerintah akan :
1.
Berkonsultasi
dengan para penduduk yang bersangkutan, melalui prosedur-prosedur yang tepat
dan terutama melalui lembaga perwakilan mereka, setiap waktu pertimbangan
sedang diberikan pada tindakan-tindakan legislatif atau administratif yang
mungkin secara langsung mempengaruhi mereka.
2.
Membuat
sarana-sarana yang memungkinkan cara penduduk dapat berpartisipasi secara
bebas, paling sedikit pada jangkauan yang sama seperti sektor-sektor penduduk
yang lain, pada semua tingkat pembuatan keputusan dalam lembaga-lembaga pilihan
dan administratif dan dalam badan-badan lain yang bertanggungjawab atas
kebijakan-kebijakan dan program-program yang mengenai mereka.
3.
Membuat
sarana-sarana untuk mengembangkan sepenuhnya lembaga-lembaga dan
inisiatif-inisiatif sendiri para penduduk ini, dan dalam kasus-kasus yang tepat
menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk tujuan ini.
Pasal 8 butir 1 : dalam memberlakukan
undang-undang dan peraturan-peraturan nasional pada para penduduk yang
bersangkutan, perhatian yang semestinya harus diberikan pada kebiasaan atau
undang-undang kebiasaan mereka.
Pasal 15 butir 1 : hak-hak para
penduduk yang bersangkutan atas sumber daya alam yang berkenaan dengan tanah
mereka harus secara khusus dilindungi. Hak-hak ini mencakup hak para penduduk
ini untuk berpartisipasi dalam penggunaan, managemen dan pelestarian sumber
daya ini.
Pasal 15 butir 2 : pada kasus-kasus
yang di dalamnya negara tetap menguasai pemilikan tambang suatu sumber daya di
bawah permukaan atau hak-hak atas sumber daya lainnya berkenaan dengan
tanah-tanah, maka para pemerintah harus menyusun atau memelihara
prosedur-prosedur yang melaluinya, mereka harus berkonsultasi dengan para
penduduk ini, dengan tujuan untuk memastikan apakah dan sampai tingkat apa
kepentingan-kepentingan mereka akan dipenuhi, sebelum melakukan atau
memperkenankan program apapun untuk mengeksplorasi atau mengeksploitasi sumber
daya tersebut, yang berkenaan dengan manapun mungkin harus ambil bagian dalam
keuntungan aktivitas-aktivitas tersebut, dan harus menerima kompensasi yang
adil untuk kerugian apapun yang mungkin mereka derita sebagai akibat dari
aktivitas-aktivitas tersebut.
Pasal 16 butir 1 : dengan tunduk
pada ayat-ayat pasal ini berikutnya, para penduduk yang bersangkutan tidak
boleh dipindahkan dari tanah-tanah yang mereka tempati.
Pasal 16 butir 2 : apabila
penempatan kembali para penduduk ini dianggap perlu sebagai upaya pengecualian,
penempatan kembali tersebut harus berlangsung hanya dengan persetujuan mereka
bebasdan diberitahukan. Apabila persetujuan mereka tidak dapat diperoleh,
penempatan kembali tersebut harus berlangsung hanya dengan mengikuti
prosedur-prosedur yang tepat yang dibuat oleh undang-undang dan
peraturan-peraturan nasional, termasuk penyelidikan umum apabila tepat, yang
memberikan kesempatan untuk mengajukan protes yang efektif dari para penduduk
yang bersangkutan.
Pasal 16 butir 3 : setiap waktu
mungkin, para penduduk ini berhak kembali ke tanah tradisional mereka, segera
setelah alasan-alasan untuk penempatan kembali mereka hentikan.
Pasal 16 butir 4 : apabila
penempatan kembali lagi tersebut tidak mungkin dilakukan karena ditetapkan
dengan persetujuan atau dengan tiadanya persetujuan tersebut melalui
prosedur-prosedur yang tepat, maka para penduduk ini harus disediakan, dalam
sebuah kasus yang mungkin dengan tanah-tanah yang kualitas dan status hukumnya
setidak-tidaknya sama dengan tanah-tanah yang sebelumnya ditempati mereka, yang
cocok untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan mereka yang sekarang, dan
pembangunan mereka di kemudian hari. Apabila para penduduk yang bersangkutan
menyatakan suatu pilihan untuk memberikan kompensasi dalam bentuk uang atau
barang, mereka harus diberikan berdasarkan jaminan-jaminan yang tepat.
Pasal 16 butir 5 : orang-orang yang
jadi ditetapkan kembali harus diberi kompensasi secara penuh atas kehilangan
atau kerugian apapun yang diakibatkan.
f. Arahan operasional 4.20 Bank
Dunia bulan September 1991 yang
memberikan pedoman kebijakan untuk menjamin penduduk asli juga akan memperoleh
keuntungan dari proyek pembangunan yang dilaksanakan dan terhindar dari
pelanggaran-pelanggaran hak mereka.
g. Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia
1993/77 tentang Pengusiran Paksa, yang
menegaskan bahwa Praktik pengusiran paksa merupakan pelanggaran berat terhadap
hak asasi manusia.
Dalam Hukum Nasional
Perlindungan hak asasi masyarakat
adat diakui dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
“Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Hak masyarakat adat juga dilindungi
dalam Pasal 28I ayat (3) yang menyatakan “identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Berdasarkan pasal tersebut terlihat
bahwa kesatuan masyarakat adat dengan hak tradisionalnya yang masih hidup
diakui eksistensinya. Sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, maka TAP
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia telah memberikan perlindungan yang
layak bagi eksistensi hak-hak masyarakat adat termasuk hak ulayatnya. Hal tersebut
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 tentang hak untuk mempertahankan
kehidupan, pasal 6 tentang hak untuk memperjuangkan hak-haknya secara kolektif,
pasal 8 tentang persamaan di muka hukum, pasal 23 tentang hak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya, pasal 32 tentang
jaminan hak miliknya untuk tidak diambil sewenang-wenang.
Penegasan ini menunjukkan bahwa
masyarakat adat di Indonesia diakui eksistensinya secara konstitusional.
Dukungan konstitusi ini memperkuat pemahaman dan kesadaran untuk menghormati
dan melindungi hak mereka. Selain itu, dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga terdapat
pengakuan atas hak ulayat masyarakat adat atau yang serupa dengan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar