Sabtu, 21 Februari 2015

PERLINDUNGAN TERHADAP HAK MASYARAKAT ADAT DALAM INSTRUMEN HUKUM

PERLINDUNGAN TERHADAP HAK MASYARAKAT ADAT DALAM INSTRUMEN HUKUM
Dalam sejarah membaca sejarah pertanahan Indonesia, terdapat banyak sekali permasalahan tanah. Konflik/sengketa tersebut sebagian besar terjadi disebabkan karena masalah tanah adat/tanah ulayat, yang pada akhirnya membatasi akses masyarakat adat atas tanahnya sendiri, termasuk menjadi terbatasnya pula akses terhadap sumber daya alam yang sejak dulu ada dalam wilayah tanah adat mereka.
Mayoritas kasus yang terjadi, harus diakui bahwa masyarakat adat dan pemerintah berada dalam posisi yang kurang seimbang, walaupun sebenarnya secara filosofis terdapat asas equality before the law. Posisi yang kurang seimbang tersebut seringkali berimbas pada tertekannya masyarakat adat, terlebih ketika pemerintah menggunakan ‘hak menguasai’ sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pertanyaannya, mengapa posisi masyarakat adat seringkali nampak begitu tertekan ketika berhadapan dengan pemerintah, tidakkah masyarakat adat terlindungi secara hukum? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu akan coba dijelaskan mengenai pengertian masyarakat adat itu sendiri.
Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut masyarakat adat, seperti istilah first people dikalangan antropolog dan pembela HAM, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, serta bangsa asal dan orang asli di Malaysia. Di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah disepakati penggunaan istilah indigenous peoples sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi PBB, yaitu draft of the United Nation Declaration on the Rights of the indegenius peoples.
Menurut Konvensi ILO 169 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka, yang dimaksud dengan masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di negara-negara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural, dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan yang statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan pengaturan khusus.
Menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, masyarakat adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Menurut Konggres Masyarakat Adat Nusantara I (KMAN I) yang tertuang dalam Keputusan KMAN No. 01/KMAN/1999 di bagian rumusan keanggotaan, definisi masyarakat adat menurut KMAN I adalah kelompok komunitas yang memiliki asal usul leluhur, secara turun temurun mendiami wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan teritori sendiri.
Pengertian mengenai masyarakat adat pun nampak dari beberapa pendapat ahli. Ter Haar memberikan istilah masyarakat adat dengan istilah persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) yaitu lingkungan-lingkungan teratur yang bersifat kekal, yang mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik berupa kejasmanian maupun kerohanian. Definisi lain mengenai masyarakat adat diberikan oleh Bambang Supriyanto sebagai suatu satuan komunitas yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya dan sosial yang khas.
Masyarakat adat dapat dibentuk berdasarkan ikatan darah (geneologis) atau berdasarkan ikatan daerah (territorial). Masyarakat adat geneologis adalah yang terdiri dari penduduk yang merasa terikat semata-mata karena keturunan dari nenek moyang yang sama, sedangkan masyarakat adat yang bersifat territorial adalah masyarakat adat yang anggota-anggotanya merasa terikat kepada daerah tempat kediamannya yang tertentu.
Berdasarkan pengertian tersebut, lebih lanjut akan dijabarkan ketentuan hukum yang mengatur dan berkaitan dengan perlindungan terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam, termasuk di  dalamnya tanah adat. Hal ini penting guna menjustifikasi validitas bahwa hak masyarakat adat tersebut merupakan hak hukum sehingga sebenarnya dapat dituntut keberlakuan dan penegakannya, sebab salah satu syarat bagi hak hukum yaitu harus dapat dikonfirmasi dalam berbagai sumber-sumber hukum (lihat posting sebelumnya mengenai hak hukum.
Dalam instrumen hukum Internasional
a.      Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Pasal 2 : “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa pembedaan   dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya.”
Pasal 3 : “Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan keamanan pribadi.
Pasal 17.1 : “Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain.”
Pasal 17.2 : “Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang.”
b.      Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Pasal 1 butir 2 : “Semua rakyat dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumber daya mereka sendiri, tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul dari kerjasama ekonomi internasional atas dasar prinsip keuntungan bersama serta hukum internasional. Tidak dapat dibenarkan suatu bangsa merampas upaya penghidupan rakyatnya sendiri.”
Pasal 2.2 : “Negara peserta Kovenan ini berjanji menjamin agar hak yang diatur dalam kovenan ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.”
Pasal 25 : “Tidak ada satu hal pun dalam kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat dari semua bangsa (suku bangsa) untuk menikmati dan memanfaatkan kekayaan dan sumber daya alam mereka secara bebas dan penuh.
c.       Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
Pasal 1 butir 2 : “Semua orang dapat, untuk tujuan-tujuan mereka sendiri secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumber daya alam mereka sendiri tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul dari kerja sama ekonomi internasional atas dasar prinsip keuntungan bersama dan hukum internasional. Dalam apapun tidak dibenarkan suatu bangsa merampas upaya penghidupan rakyatnya sendiri.”
Pasal 47 : “Tiada sesuatu dalam kovenan ini boleh ditafsirkan sebagai melemahnya hak yang pada setiap bangsa untuk sepenuhnya dan sebebas-bebasnya menikmati dan memanfaatkan segala kekayaan dan sumber daya alamnya.”
d.      Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras
Pasal 1.3, yang menyatakan bahwa tidak boleh ada diskriminasi ras, kecuali untuk memajukan kelompok ras yang memerlukan perlindungan.
Pasal 5.d. tentang jaminan negara untuk tanpa diskriminasi melindungi hak untuk memiliki kekayaan.
e.      Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Rakyat Tahun 1981
Pasal 21 butir 1 : “Semua rakyat dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumber daya mereka. Hak ini dilaksanakan atas kepentingan eksklusif bangsa. Tidak dapat dibenarkan suatu bangsa merampas upaya penghidupannya sendiri.”
Pasal 21 butir 2 : “Dalam hal perampasan, rakyat yang dirampas hak miliknya berhak mendapatkan kembali penikmatan harta kekayaannya secara sah dan juga berhak mendapatkan kompensasi yang memadai.”
f.        Konvensi Tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku Tahun 1989
Konsideran menimbang hal aspirasi penduduk-penduduk asli dan penduduk suku untuk melaksanakan penguasaan atas lembaga mereka sendiri, cara-cara hidup dan pembangunan ekonomi untuk memelihara dan mengembangkan ciri-ciri khas mereka, bahasa dan agama di dalam struktur negara-negara dimana mereka hidup.
Pasal 2 butir 1 : pemerintah mempunyai tanggung jawab atas pembangunan, dengan partisipasi para penduduk yang bersangkutan, tindakan yang terkoordinir dan sistematis untuk melindungi hak-hak para penduduk ini serta menjamin penghormatan terhadap integritas mereka.
Pasal 2 butir 2 : tindakan tersebut akan mencakup langkah-langkah untuk :
1.     Menjamin bahwa para anggota penduduk ini memperoleh manfaat atas dasar yang sama dari hak dan kesempatan yang diberikan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan nasional kepada para anggota penduduk yang lain.
2.     Meningkatkan realisasi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya para penduduk ini sepenuhnya dengan menghormati identitas sosial dan budaya mereka, kebiasaan dan tradisi dan lembaga mereka.
3.     Membantu para anggota yang bersangkutan untuk menghapus kesengajaan sosial, ekonomi yang mungkin ada di antara penduduk asli dan para anggota masyarakat nasional yang lain, dalam suatu cara yang sesuai dengan aspirasi dan cara hidup mereka.
Pasal 6 butir 1 : dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini, para pemerintah akan :
1.     Berkonsultasi dengan para penduduk yang bersangkutan, melalui prosedur-prosedur yang tepat dan terutama melalui lembaga perwakilan mereka, setiap waktu pertimbangan sedang diberikan pada tindakan-tindakan legislatif atau administratif yang mungkin secara langsung mempengaruhi mereka.
2.     Membuat sarana-sarana yang memungkinkan cara penduduk dapat berpartisipasi secara bebas, paling sedikit pada jangkauan yang sama seperti sektor-sektor penduduk yang lain, pada semua tingkat pembuatan keputusan dalam lembaga-lembaga pilihan dan administratif dan dalam badan-badan lain yang bertanggungjawab atas kebijakan-kebijakan dan program-program yang mengenai mereka.
3.     Membuat sarana-sarana untuk mengembangkan sepenuhnya lembaga-lembaga dan inisiatif-inisiatif sendiri para penduduk ini, dan dalam kasus-kasus yang tepat menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk tujuan ini.
Pasal 8 butir 1 : dalam memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan nasional pada para penduduk yang bersangkutan, perhatian yang semestinya harus diberikan pada kebiasaan atau undang-undang kebiasaan mereka.
Pasal 15 butir 1 : hak-hak para penduduk yang bersangkutan atas sumber daya alam yang berkenaan dengan tanah mereka harus secara khusus dilindungi. Hak-hak ini mencakup hak para penduduk ini untuk berpartisipasi dalam penggunaan, managemen dan pelestarian sumber daya ini.
Pasal 15 butir 2 : pada kasus-kasus yang di dalamnya negara tetap menguasai pemilikan tambang suatu sumber daya di bawah permukaan atau hak-hak atas sumber daya lainnya berkenaan dengan tanah-tanah, maka para pemerintah harus menyusun atau memelihara prosedur-prosedur yang melaluinya, mereka harus berkonsultasi dengan para penduduk ini, dengan tujuan untuk memastikan apakah dan sampai tingkat apa kepentingan-kepentingan mereka akan dipenuhi, sebelum melakukan atau memperkenankan program apapun untuk mengeksplorasi atau mengeksploitasi sumber daya tersebut, yang berkenaan dengan manapun mungkin harus ambil bagian dalam keuntungan aktivitas-aktivitas tersebut, dan harus menerima kompensasi yang adil untuk kerugian apapun yang mungkin mereka derita sebagai akibat dari aktivitas-aktivitas tersebut.
Pasal 16 butir 1 : dengan tunduk pada ayat-ayat pasal ini berikutnya, para penduduk yang bersangkutan tidak boleh dipindahkan dari tanah-tanah yang mereka tempati.
Pasal 16 butir 2 : apabila penempatan kembali para penduduk ini dianggap perlu sebagai upaya pengecualian, penempatan kembali tersebut harus berlangsung hanya dengan persetujuan mereka bebasdan diberitahukan. Apabila persetujuan mereka tidak dapat diperoleh, penempatan kembali tersebut harus berlangsung hanya dengan mengikuti prosedur-prosedur yang tepat yang dibuat oleh undang-undang dan peraturan-peraturan nasional, termasuk penyelidikan umum apabila tepat, yang memberikan kesempatan untuk mengajukan protes yang efektif dari para penduduk yang bersangkutan.
Pasal 16 butir 3 : setiap waktu mungkin, para penduduk ini berhak kembali ke tanah tradisional mereka, segera setelah alasan-alasan untuk penempatan kembali mereka hentikan.
Pasal 16 butir 4 : apabila penempatan kembali lagi tersebut tidak mungkin dilakukan karena ditetapkan dengan persetujuan atau dengan tiadanya persetujuan tersebut melalui prosedur-prosedur yang tepat, maka para penduduk ini harus disediakan, dalam sebuah kasus yang mungkin dengan tanah-tanah yang kualitas dan status hukumnya setidak-tidaknya sama dengan tanah-tanah yang sebelumnya ditempati mereka, yang cocok untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan mereka yang sekarang, dan pembangunan mereka di kemudian hari. Apabila para penduduk yang bersangkutan menyatakan suatu pilihan untuk memberikan kompensasi dalam bentuk uang atau barang, mereka harus diberikan berdasarkan jaminan-jaminan yang tepat.
Pasal 16 butir 5 : orang-orang yang jadi ditetapkan kembali harus diberi kompensasi secara penuh atas kehilangan atau kerugian apapun yang diakibatkan.
f. Arahan operasional 4.20 Bank Dunia bulan September 1991 yang memberikan pedoman kebijakan untuk menjamin penduduk asli juga akan memperoleh keuntungan dari proyek pembangunan yang dilaksanakan dan terhindar dari pelanggaran-pelanggaran hak mereka.
g. Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1993/77 tentang Pengusiran Paksa, yang menegaskan bahwa Praktik pengusiran paksa merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
Dalam Hukum Nasional
Perlindungan hak asasi masyarakat adat diakui dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Hak masyarakat adat juga dilindungi dalam Pasal 28I ayat (3) yang menyatakan “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Berdasarkan pasal tersebut terlihat bahwa kesatuan masyarakat adat dengan hak tradisionalnya yang masih hidup diakui eksistensinya. Sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, maka TAP XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia telah memberikan perlindungan yang layak bagi eksistensi hak-hak masyarakat adat termasuk hak ulayatnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 tentang hak untuk mempertahankan kehidupan, pasal 6 tentang hak untuk memperjuangkan hak-haknya secara kolektif, pasal 8 tentang persamaan di muka hukum, pasal 23 tentang hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya, pasal 32 tentang jaminan hak miliknya untuk tidak diambil sewenang-wenang.
Penegasan ini menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia diakui eksistensinya secara konstitusional. Dukungan konstitusi ini memperkuat pemahaman dan kesadaran untuk menghormati dan melindungi hak mereka. Selain itu, dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga terdapat pengakuan atas hak ulayat masyarakat adat atau yang serupa dengan itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar