Melacak Objektifitas, Menemukan
Titik Terang.
Para justisiabelen
(pencari keadilan) di dunia ini selalu mengharapkan yang namanya objektifitas
hukum. Tidak jarang kalau ada kasus hukum, yang diharapkan kepada penegak hukum
adalah tingkat objektifitasnya. Jangan sampai dalam penanganan kasus hukum
cenderung diatasi dengan sikap subjektifitas. Sehingga lahirlah putusan yang
mengarah pada ketidakadilan. Karena tidak bisa dipungkiri mulai dari kasus
hukum yang bobotnya kecil sampai yang bobotnya besar harus mengacu pada
objektifitas hukum.
Objektifitas
dalam pusaran subjektifitas
Banyaknya kasus hukum yang ada dalam masyarakat,
tidak menutup kemungkinan adanya sikap subjektifitas daripada penegak hukum. Hukum dalam manifestasinya yakni
Undang-undang, sealalu mengacu pada objektifitas. Bukannnya subjektifitas.
Perlu diketahui secara teoretis makna objektifitas, mengacu pada keadilan
hukum. Sedangkan subjektifitas mengacu pada ketidakadilan hukum. Sebagai
contoh, kalau ada suatu perkara yang di mana orang berperkara itu adalah hakim,
bolehkah hakim itu mengadili perkaranya sendiri ?. Secara hukum itu tidak
boleh. Karena pasti mengacu pada subjektifitas seorang hakim itu sendiri.
Secara manusiawi, orang yang menghadapi masalah pasti kecenderungannya membelah
diri sendiri. Bukan membela orang lain. Itulah sebabnya orang tidak boleh mengadili dirinya
sendiri. Sesuai dengan adagium hukum “NEMO
JUDEX (TEISTIS) INDONEUS IN PROPRIA CAUSA (tidak ada yang boleh menjadi hakim
dalam kasunya sendiri).
Mengacu pada hukum positif indonesia, jikalau
pejabat tersangkut masalah hukum maka harus mengundurkan diri dari jabaatan.
Secara etika dan moral mengundurkan diri adalah hal seharusnya dilakukan oleh
pejabat kalau tersangkut masalah hukum. Dalam penetapan tersangka pun pejabat
hukum harus mengundurkan diri. Karena memang sangkaan sangatlah kronis dalam
proses hukum. Artinya sudah menuju ke ending
kasus.
Objektifitas
dalam menemukan titik terang.
Untuk menemukan titik terang atau kebenaran dalam
kasus hukum, sekali lagi sangatlah diperlukan objektifitas. Dalam kasus hukum,
tidak dapat dimunafikkan, kalau ada upaya untuk mengabaikan nilai-nilai
kebenaran untuk kepentingannya. Bahkan orang yang jelas melakukan pelanggaran
hukum masih saja mebelea dirinya sendiri dengan berbagai dalil, dan alasan.
Dalam mencari titik terang kasus, memang juga
diperlukan subjektifitas pembelaan diri dari seseorang. Akan tetapi pembelaan
yang berdasar pada kebenaran. Pembelaan itu harus rasional dan dapat
dipertanggungjawabkan (responsibility). Kalau pembelaan seperti itu tidak ada
masalah. Karena yang dihindari adalah pembelaan yang tidak berdasar, tidak
rasional dan tidak mengacu pada kebenaran dan keadilan.
Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, kita cenderung
tidak bisa mengabaikan nilai-nilai yang melekat pada unsur kedaerahan kita
(primordialisme) dan perilaku nepotisme. Karena satu daerah, satu kampung,
keluarga dekat, kerabat, ketika ada muncul kasus hukum maka penyelesaiannya
mengacu pada subjektifitas. Di manaYang bukan keluarga langsung ditahan,
sedangkan keluarga dan kerabat tidak segan-segan langsung dilepaskan.
Sebagai kesimpulan, kasus hukum itu dalam
penangannya harus mengacu pada objektifitas bukannya subjektiftas. Hukum
mengaharapkan keadilan bukannya ketidakadilan.
Febri Ramadhani
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar