Kamis, 12 Februari 2015

Melacak Objektifitas, Menemukan Titik Terang

Melacak Objektifitas, Menemukan Titik Terang.

Para justisiabelen (pencari keadilan) di dunia ini selalu mengharapkan yang namanya objektifitas hukum. Tidak jarang kalau ada kasus hukum, yang diharapkan kepada penegak hukum adalah tingkat objektifitasnya. Jangan sampai dalam penanganan kasus hukum cenderung diatasi dengan sikap subjektifitas. Sehingga lahirlah putusan yang mengarah pada ketidakadilan. Karena tidak bisa dipungkiri mulai dari kasus hukum yang bobotnya kecil sampai yang bobotnya besar harus mengacu pada objektifitas hukum.

Objektifitas dalam pusaran subjektifitas

Banyaknya kasus hukum yang ada dalam masyarakat, tidak menutup kemungkinan adanya sikap subjektifitas daripada penegak  hukum. Hukum dalam manifestasinya yakni Undang-undang, sealalu mengacu pada objektifitas. Bukannnya subjektifitas. Perlu diketahui secara teoretis makna objektifitas, mengacu pada keadilan hukum. Sedangkan subjektifitas mengacu pada ketidakadilan hukum. Sebagai contoh, kalau ada suatu perkara yang di mana orang berperkara itu adalah hakim, bolehkah hakim itu mengadili perkaranya sendiri ?. Secara hukum itu tidak boleh. Karena pasti mengacu pada subjektifitas seorang hakim itu sendiri. Secara manusiawi, orang yang menghadapi masalah pasti kecenderungannya membelah diri sendiri. Bukan membela orang lain. Itulah sebabnya orang tidak boleh mengadili dirinya sendiri. Sesuai dengan adagium hukum “NEMO JUDEX (TEISTIS) INDONEUS IN PROPRIA CAUSA (tidak ada yang boleh menjadi hakim dalam kasunya sendiri).

Mengacu pada hukum positif indonesia, jikalau pejabat tersangkut masalah hukum maka harus mengundurkan diri dari jabaatan. Secara etika dan moral mengundurkan diri adalah hal seharusnya dilakukan oleh pejabat kalau tersangkut masalah hukum. Dalam penetapan tersangka pun pejabat hukum harus mengundurkan diri. Karena memang sangkaan sangatlah kronis dalam proses hukum. Artinya sudah menuju ke ending kasus.

Objektifitas dalam menemukan titik terang.

Untuk menemukan titik terang atau kebenaran dalam kasus hukum, sekali lagi sangatlah diperlukan objektifitas. Dalam kasus hukum, tidak dapat dimunafikkan, kalau ada upaya untuk mengabaikan nilai-nilai kebenaran untuk kepentingannya. Bahkan orang yang jelas melakukan pelanggaran hukum masih saja mebelea dirinya sendiri dengan berbagai dalil, dan alasan.

Dalam mencari titik terang kasus, memang juga diperlukan subjektifitas pembelaan diri dari seseorang. Akan tetapi pembelaan yang berdasar pada kebenaran. Pembelaan itu harus rasional dan dapat dipertanggungjawabkan (responsibility). Kalau pembelaan seperti itu tidak ada masalah. Karena yang dihindari adalah pembelaan yang tidak berdasar, tidak rasional dan tidak mengacu pada kebenaran dan keadilan.

Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, kita cenderung tidak bisa mengabaikan nilai-nilai yang melekat pada unsur kedaerahan kita (primordialisme) dan perilaku nepotisme. Karena satu daerah, satu kampung, keluarga dekat, kerabat, ketika ada muncul kasus hukum maka penyelesaiannya mengacu pada subjektifitas. Di manaYang bukan keluarga langsung ditahan, sedangkan keluarga dan kerabat tidak segan-segan langsung dilepaskan.

Sebagai kesimpulan, kasus hukum itu dalam penangannya harus mengacu pada objektifitas bukannya subjektiftas. Hukum mengaharapkan keadilan bukannya ketidakadilan.

Febri Ramadhani
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar