BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sumber
hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits, Ijma’.
Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian masih
terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujjahan qiyas dengan
beberapa alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan
teknologi dan pengetahuan begitu pesat terjadi, sehingga muncul banyak
permasalahan-permasalahan baru yang terkadang tidak cukup dengan keempat sumber
hukum di atas. Atas dasar demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum
yang pada kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan
sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga tidak
heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari
pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini
modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.
Di antara sumber hukum yang baru itu
adalah istihsan. Istihsan yang merupakan dalil syariat yang
prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat, tentunya sangat dibutuhkan untuk
setidaknya meredam permasalahan-permasalahan baru yang terjadi. Karena jika
tetap berpegang pada sumber hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis
agama akan ditinggalkan karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan
baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan
cukup konflek kendati tetap membutuhkan
pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya
memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa
ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi,
budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak
bertentangan dengan syariat agama.
Dalam
makalah sederhana ini, penulis akan
membahas tentang istihsan, hal itu terkait dengan definisi dan pro kontra yang
terjadi terhadapnya. Tidak ketinggalan pula kita akan mengkaji tentang
pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini, yang mana kita temukan banyak
sekali permasalahan-permasalahan kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum
yang baru.
Ternyata
tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat
diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan
pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan
para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang
al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala
sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh
hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang
belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
Dengan
demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama
mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode,
walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai
metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya. Dalam makalah ini akan
dibahas tentang persoalan metode berijtihad oleh para ulama, namun dalam
makalah ini pembahasan cukup difokuskan pada persoalan berijtihad dengan
Istihsan.
B. RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak
dari latar belakang, maka rumusan masalah dari makalah ini yang dapat
dirumuskan ialah:
1.
Apa saja definisi-definisi tentang
Istihsan?
2.
Bagaimana bentuk/macam-macam dari
istihsan?
3.
Bagaimana kehujjahan Istihsan?
4.
Bagaimana dasar hukum Istihsan?
C. TUJUAN
Makalah Istihsan
ini memiliki beberapa tujuan, yakni:
1.
Untuk menginformasikan kepada Mahasiswa
tentang gambaran umum/penjelasan tentang definisi-definisi istihsan
2.
Untuk memperdalam ilmu Ushl fiqh, maka
makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi sederhana terhadap salah satu
bagian dari materi ushl fiqh
3.
Sebagai bahan tinjauan di masa yang akan
datang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
ISTISHAN
1.
Menurut
Bahasa artinya menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan sesuatu lebih baik,
mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk
diikuti,karena memang di suruh untuk itu.
2.
Menurut
Istilah ulama ushul fiqih adalah berpalingnya seseorang mujtahiddari
tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan kiyas yang khafi(samar)atau
dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitnainy (pengecualian) ada dalil yang
menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini
3.
Imam al-bazdawi (400-482 H/1010-1059
M), salah seorang ahli mazhab hanafi menulis: istihsan adalah berpaling dari
kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan
dalil yang labih kuat.
4.
Adapun As-Sarakhsi (1090 M),
menyatakan: istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih
kuat dari itu karena adanya dalil yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil
yang meng hendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Secara
etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal
istihsan. Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan
oleh Abdul Wahab Khalaf
هو
عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي
انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali
(yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang
kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena
menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang
menghendaki perpindahan tersebut.
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu
sebagai berikut:
- Menguatkan
Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama
Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an
berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
-
Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat
sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid
haram membaca Al-Qur’an.
-
Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena
itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak,
maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang
laki-laki dapat beribadah setiap saat.
- Pengecualian
sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan)
berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang
jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah
manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan
mereka.
Definisi istihsan Menurut imam Abu
Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu
masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki
dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi istihsan menurut Ibnul
Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan hukum
sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian
kasus tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, ahli
fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa istihsan adalah
memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully .Istihsan merupakan sumber hukum
yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu
imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih
tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat .
Dari berbagai definisi diatas, dapat
difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan
ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash,
ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat
diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus
dan spesifik.
Dengan demikian, Istihsan pada
dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum
tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya,
persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas,
tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku
ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang
sudah jelas.
B.
MACAM
MACAM ISTIHSAN
Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya.
Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang
dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang
diikutinya saat beralih dari qiyas.
1)
Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya
istihsan terbagi kepada tiga:
a) Berpindah
dari apa yang dituntut oleh qiyas zahir (jali) kepada yang
dikehendaki oleh qiyaskhafi. Artinya pentarjihan qiyas Khafi (yang tersembunyi) atas
qiyas jali (nyata) karena ada suatu dalil.
Contoh: Fuqaha Hanafiyah menyebutkan, bahwa seorang
pewakaf apabila mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara
otomastis hak pengairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf,
tanpa harus menyebutkannya, berdasarkan istihsan.
Menurut qiyas, semuanya itu tidak termasuk kecuali bila
terdapat nash yang menyebutkannya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah:
bahwasanya yang menjadi tujuan dari wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang
diwakafkan kepada mereka. Pemanfaatan
tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya,
dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal tersebut juga termasuk dalam wakaf
meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisir
kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa menyewa.
Qiyas yang nyata adalah menyamakan wakaf dengan jual
beli, karena masing-masing dari wakaf dan jual beli merupakan pengeluaran hak
milik dari pemiliknya. Sedangkan qiyas yang khafi menyamakan wakaf ini dengan sewa-menyewa,
karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan untuk dimanfaatkan.
Oleh karena itu pengairan, air minum, dan jalan masuk di dalam wakaf tanah,
tanpa harus menyebutkannya.
b) Berpindah dari apa yang dituntut
oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
Contoh: tidak
memotong tangan pencuri di waktu paceklik, yang menurut pemahaman umum terhadap
ayat al-Qur’an (QS. Al-Maidah: 37) apabila seorang melakukan pencurian dan
memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya
hukuman potong. Namun, bila pencurian itu dilakukan pada masa paceklik, maka
hukuman potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan, karena dalam
kasus ini berlaku hukum khusus.
c) Pengecualian juziyyah (kasuistik) dari suatu hukum
kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Contoh:
Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang
sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan
perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan rukhshah
(keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan
dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan
pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan
untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah
kepada salam itu merupakan pengecualian (istitsna) dari hukum kulli
dengan menggunakan hukum juz’i,
karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
2)
Ditinjau dari segi
sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas, maka
istihsan ada enam macam:
a) Itihsan yang sandarannya nash. Dalam bentuk ini ketentuan
umum dan qiyas tidak digunakan dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash
yang mengatur pengecualian itu. Seperti, menghukumkan tetap sah puasa orang
yang makan atau minum karena terlupa. Hal ini berlandaskan kepada hadits Nabi
saw: “Siapa saja yang makan atau minum karena lupa, maka janganlah ia berbuka,
karena itu merupakan rizki yang dianugerahkan Allah.” Imam Abu Hanifah
berkomentar terhadap kasus ini: “Andaikata tiada nash yang tidak
membatalkan puasa lantaran makan dan minum karena lupa, tentulah saya memandang
batal puasa itu karena sudah rusak satu rukunnya yaitu menahan diri dari segala
yang merusak puasa”.
b) Istihsan yang sandarannya Ijma’. Yaitu meninggalkan
keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma’. Hal ini
terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan
pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan
tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebenarnya berlawanan dengan
dasar-dasar pokok yang ditetapkan. Misalnya, ketetapan ijma’ tentang
sahnya akad istihshna’( pesanan ). Menurut qiyas semestinya akad itu
batal sebab barang yang diakadkan belum ada. Akan tatapi, masyarakat seluruhnya
telah melakukannya, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf am (tradisi)
yang dapat mengalahkan dalil qiyas.
c) Itihsan yang sandarannya adalah urf (adat). Yaitu
penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya urf
yang sudah yang sudah dipraktikkan dan dikenal baik dalam kehidupan masyarakat.
Misalnya, dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaedah umum, jasa
pemandian umum itu harus jelas berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah
air yang dipakai, akan tetapi apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan
orang banyak. Oleh sebab itu secara istihsan boleh mempergunakan jasa pemandian
umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya,
karena sudah berlaku umum dalam masyarakat.
d) Istihsan karena darurat. Yaitu istihsan yang disebabkan
karena adanya dlarurat (terpaksa) karena adanya suatu masalah yang mendorong mujtahid
untuk meninggalakan dalil qiyas. Seperti apabila saksi-saksi yang telah
meninggal atau yang jauh dari tempat atau karena tidak sanggup menghadiri
sidang majlis, padahal menurut asal hukum kesaksian itu harus yang melihat
dengan mata kepala sendiri, dibolehkan menggunakan kesaksian orang lain.
e) Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi, yang
pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi dibanding qiyas jali. Contoh: sisa minum burung elang, gagak, dan
sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan melalui sitihsan.
Menurut qiyas jali sisa minum binatang buas seperti anjing dan
burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah
bercampur dengan air liur binatang itu karena langsung meminum dengan mulutnya
diqiyaskan kepada dagingnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda
mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut biantang buas terdiri dari daging
yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri dari
tulang atau zat tanduk, dan tulang dan zat tanduk bukan merupakan najis. Karena
itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan daging dan air liurnya
karena diantarai oleh paruhnya.
f)
Istihsan
yang sandarannya maslahah. Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita
dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat
orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seorang harus membuka bajunya untuk
didiagnosa penyakitnya. Maka untuk kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah
istihan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
3)
Ulama
ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya
dinamai dengan istislah. Dari hal ini mereka membagi istihsan kepada
tiga macam:
a) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal
dengan urf (kebiasaan). Misalnya, seseorang bersumpah tidak akan memakan
daging, lalu ia memakan daging ikan, maka ia tidak dinamakan melanggar sumpah
meskipun ikan itu dalam al-Qur’an termasuk dalam daging. hal ini terlihat dalam
firman Allah: ومن كل
تأكلون لحما طريا (dan dari semua yang kamu makan berupa daging yang lembut).
Alasannya adalah karena dalam urf yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan
tidak termasuk daging.
b) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan beramal
dengan cara lain karena pertimbangan kemaslahatan manusia. Misalnya,
tanggungjawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki suatu barang yang
diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan qiyas, ia tidak perlu
mengganti karena kerusakan barang itu di waktu ia membantu bekerja. Namun
berdasarkan istihsan ia harus mengganti barang tersebut demi menjaga
kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjaga harta orang laian.
c) Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk
menghindarkan kesulitan dan memberi kemudahan kepada umat. Misalnya, adanya
sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang bnayak. Tindakan ini
dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku kalau menakar itu harus
tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku.
C.
DASAR
HUKUM ISTIHSAN
Para ulama yang mempertahankan
istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata
istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti
Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه .اولئك الذين هدهم الله .
واولئك هم اولو الالبابز
Artinya: “Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah
orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat
ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan
mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali
untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan)
yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar
:55)
Menurut
mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain
yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ
حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum
muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan
apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk
pula”.
Hadits
ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan
Istihsan.
D.
KEHUJJAHAN ISTIHSAN
Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini
apakah merupakan dalil hukum syara’ atau tidak:
Pertama, jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan
sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’
yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh
qiyas, atau umunya nash.Terutama Hanafiyah sangat mengutamakan
istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta meninggalkan qiyas.
Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu Hanifah: نستحسن
هذا، وندع القيـــاس (kami memakai istihsan untuk hal
ini, dan meninggalkan qiyas). Ucapan Abu Hanifah ini diperkuat oleh Abu
Al-Khattab dengan ungkapannya : “Saya menolak istihsan tanpa delil, dan
menerimanya apabila ada dalil yang jelas dan meninggalkan qiyas”.Abu Hanifah
banyak menetapkan hukum dengan istihsan, tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan
rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Oleh karena itu dia
dikatakan menetapkan hukum hanya menurut kemauannya saja tanpa memakai metode.
Asal sudah dipandang baik sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum, karena
demikianlah arti yang ditunjukkan oleh kata
isthsan itu. Banyak fuqaha yang tidak mengetahui hakikat istihsan yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah, dan
karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan
menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah sampai kepada mencelanya sebagai
orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.
Setelah
timbul kritikan-kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha
menjelaskan pengertian
dan rumusan istihsan yang banyak dilakukan oleh imam mereka. Di antara mereka
adalah Imam As-Syarkhasi, yang mengarang
sebuah kitab terkenal yang menjadi rujukan bagi pengikut mazhab Hanafi, bernama
“Ushul al-Syarkhasi”. Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya isthsan
itu tidak keluar dari dalil-dalil syarak. mereka mengatakan bahwa hakikat istihsan adalah dua macam
qiyas. Pertama, qiyas jaly tapi lemah pengaruhnya, inilah yang dinamakan
dengan qiyas. Kedua, qiyas khafi tapi pengaruhnya kuat, inilah yang
dinamakan dengan istihsan, oleh karena itu dalam dua hal ini yang dipandang
adalah pengaruhnya, bukan jelas atau tidaknya qiyas. Pengaruh yang lebih kuat
itulah yang menyebabkan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagain Hanabilah lebih
mengutamakan istihsan daripada qiyas. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan
istihsan daripada qiyas semata-mata didasarkan kepada pengaruh hukumnya, bukan
didasarkan pada khafi atau jali-nya bentuk qiyas.
Bagi Hanafiyah dan Malikiyah pada hakekatnya istihsan
bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan
bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi
yang mengalahkan qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang
memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Sedangkan bentuk yang
kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang pengecualian
kasuistis dari hukum kulli (umum), dan ini juga disebut dengan segi
istihsan.
Adapun
dalil yang dipegang oleh ulama yang meyakini istihsan sebagai dalil hukum
adalah:
-
فَبَشِّرْ عِباَدِيَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ
أَحْسَنَهُ....
”Berilah kabar gembira kepada hamba-hambaKu yang
mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya....” (QS.
Az-Zumar: 18)
- وأمر قومك يأخذوا بأحسنـــــها.....
“Suruhlah kaummu (Musa) berpegang
kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya...”(QS. Al-A’raaf: 145)
-
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم
العسر..
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu...”(Qs.
Albaqarah: 185)
-
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“ Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam, maka ia
dihadapan allah juga baik” (HR.
Ahmad ibn Hanbal)
Kedua, kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan
menyatakan bahwa istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu
semata. Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil hukum ini adalah Imam
Syafi’i dan pengikutnya, kelompok zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama Syi’ah qathibah.
Imam Syafi’i merupakan ulama yang sangat
keras mengeritik isthsan tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam
ungkapannya: من
استحسن فقد شرع“Siapa yang memakai istihsan maka telah membuat sendiri hukum
syara’..”. Oleh karena itu bagi
Syafi’i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah haram apabila dia
bertentangan dengan khabar yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits. Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan Imam Syafi’i dinyatakan: “perumpamaan orang yang melakukan
istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu
arah yang menurut sitihsan bahwa arah itu adalah arah ka’bah, tanpa ada dalil
yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah ka’bah itu.” Setelah Imam
Syafi’i mengkritik Hanafi dan pengikutnya, lalu diikuti oleh Ulama dari ahli
Theologi, mereka mengatakan bahwa bahwa istihsan adalah dalil yang rusak dan tidak bisa digunakan sebagai metode mengistinbathkan
hukum.
Adapun landasan mereka
mengkritik dan menolak dalil istihsan adalah:
a. Tidak boleh membuat sebuah hukum kecuali dengan nash atau
dengan yang diqiyaskan dengan nash, karena hal terebut berarti membuat hukum
syara’ dengan keinginan hawa nafsu. Allah Swt berfirman: وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهوائهم (dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka...(QS. Al-Maidah:
49).
b. Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. tidak pernah berfatwa
dengan menggunakan istihsan, akan tetapi dia menunggu hingga wahyu turun,
walaupun sekiranya dia beristihsan itu adalah benar, karena dia berbicara bukan
karena kehendak hawa nafsu.
c. Istihsan itu dasarnya adalah akal, akal itu ada yang
pintar ada yang bodoh, kalau sekiranya seseorang boleh beristihsan, berarti
setiap orang boleh menetapkan hukum syara’ yang baru untuk dirinya sendiri.
Jika diperhatikan
alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan
menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat mazhab
Hanafi berbeda dari istihsan menurut
pendapat mazhab Syafi’i dan dan lainnya. Menurut mazhab Hanafi istihsan itu
semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa
nafsu, sedang menurut mazhab Syafi’i dan dan yang lainnya istihsan itu timbul
karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Seandainya istihsan itu
diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati,
tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Al-Syathibi dalam
bukunya Al-Muwaafaqaat menengahi kedua kubu ini dalam ungkapannya: “Orang yang
menetapkan hukum berdasarkn istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah swt. menciptakan syara’ dan
sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’
yang umum.”
kelompok ketiga, menyatakan bahwa istihsan memang
merupakan dalil hukum syara’, akan tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri,
akan tetapi dia menopang kepada dalil syara’ yang lain, karena kerjanya adalah
menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan urf, atau dengan maslahah.
Pendapat ini dipegang oleh Al-Syaukani. Hal ini terlihat dalam ungkapannya:
“Istihsan merupakan dalil syara’ yang tidak berdiri sendiri, yang pada dasarnya
tidak memiliki manfaat, karena dia hanya menegaskan dalil yara’ yang telah ada
sebelumya, ketika dia keluar dari dalil syara’ yang ada itu maka dia tidak bisa
dijadikan dalil hukum lagi.”
Menurut hemat penulis walaupun istihsan bukan suatu dalil
yang berdiri sendiri, namun ia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian ulama
mujtahid dalam menetapkan dalil-dalil syara’ dan kaedah-kaedahnya ketika
dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat.
Hal
ini untuk menghindari
kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan dengan cara menetapkan
dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.
E. Relevansi Istihsan di Masa Kini dan
Mendatang
Seperti yang telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan
oleh sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu
merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara konvesional,
seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa
dilakukan. Dengan cara konvesional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang
(tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam
keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan yang
konvesional tersebut. Pendekatan yang mereka lakukan adalah dalam bentuk
ijtihad yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang disebut istihsan.
Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan
bahwa hukum-hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat
yang diistilahkan sebagai fiqh waq’i bukan suatu fiqh khayali yang merupakan
fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian oarang yang tidak
mengetahui hakikat fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia daripadanya.
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan
datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin
komplek, permasalahan itu harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya
jawaban penyelesaiannya dari segi hukum islam. Kalau hanya semata mengandalkan
pendekatan dengan cara atau metode lama (konvesional) yang digunakan oleh ulama
terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua
permasalahan tersebut dengan baik (tepat). Karena itu, si mujtahid harus mampu
menemukan pendekatan atau dalil alternatif di luar pendekatan lama. Oleh karena
itu kecendrungan untuk menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya
dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia
yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Dengan menggunakan dasar
istihsan, kita dapat menghadapi masalah perbankan yang telah menjadi masalah
yang sangat penting dalam masalah ekonomi.
Permasalahannya ialah Jika seseorang mendepositokan uangnya di bank,
bolehkah ia menerima bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama. dengan
riba? Ketika kita bertanya kepada ulama yang, dari golongan apa saja. Ada tiga
kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak tahu. Anehnya bila golongan yang
ditanya --Muhammadiyah, Persis, NU jawabannya satu. Semua golongan itu sepakat
(ijma') untuk menyimpan uangnya di bank dan memanfaatkan bunganya, tentu saja
bagi kepentingan umat Islam. Bila diminta fatwa lisan atau tulisan, verba non
acta, sekali lagi jawabannya akan beragam. Kebanyakan di antara umat Islam
masih belum mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan.
Ulama yang ditanya itu memang mengalami kesulitan
dalam menetapkan status hukumnya. Deposito dan bunganya tidak dikenal di zaman
Rasulullah saw. Mereka tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadits-- yang
menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Ada memang ketentuan tentang riba,
tapi apakah riba sama dengan bunga deposito?Kesulitan seperti itu telah
dihadapi para ulama sepanjang sejarah. Yang kita sebut syari'at pada mulanya
hanya menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang sederhana dan hukum pidana.
Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban lain, apa yang tercakup dalam
syari'at menjadi lebih luas. Permasalahan lain yang yang membutuhkan istihsan pada saat ini seperti
Arisan, Koperasi, Transaksi lewat ATM, menanam investasi, Demokrasi dan sebagainya.
F. ALASAN ULAMA SYAFI’IYAH DAN
SEPAHAMNYA YANG MENOLAK ISTIHSAN SEBAGAI DALIL
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan
yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang
mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah
membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa
berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang
berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam
Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Alasan alasan Syafi'i menolak
istihsan:
Mengambil Istihsan sebagai hujjah
agama artinya tidak berhukum dengan nash. Orang yang melakukan istihsan berarti
dalam keadaan "suda", yaitu menetapkan hukum dengan menyalahi al
Qur'an dan sunnah.
a. Melakukan istihsan berarti menentang
ayat ayat al Qur'an yang memerintahkan agar mengikuti wahyu dan menetapkan
hukum sesuai dengan kebenaran (al haq) yang diturunkan Allah dan mengikuti hawa
nafsu.
b. Rosulullah mengingkari hukum yang
diterapkan shohabat yang mendasarkan dengan istihsan, yaitu mereka membunuh
laki laki yang melekat pada pohon.
c. Istihsan adalah menetapkan hukum
berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi
maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para
ulama'.
d. Rosulullah SAW ketika menghukumi
persoalan yang belum ada dalam al Qur'an tidak menggunakan istihsan, melainkan
menunggu turunnya wahyu.
G. RELEVANSI
ISTIHSAN DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
Pembaharuan
hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum yang mampu menjawab permasalahan
dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan cara menjadikan perkembangan baru itu sebagai pertimbangan
hukum agar hukum tersebut betul-betul mampu merealisasi tujuan syariat dan
selalu berpedoman pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang dibawa
al-Qur‟an dan Hadits. Jadi pembaharuan hukum Islam bukan berarti menetapkan
hukum Islam yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru secara
sembarangan tanpa pedoman dan batasan.
Istihsan
meskipun bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, namun dia menyingkap jalan
yang ditempuh sebagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil syara‟ dan
kaidah-kaidahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang
berkembang di dalam masyarakat. Hal ini untuk menghilangkan kesulitan dan
kemudharatan serta menghasilkan kemanfaatan dengan jalan menerapkan dasar-dasar
syariat dan sumber-sumbernya.
Istihsan
pada hakikatnya dapat merombak hukum lama yang ditetapkan dengan qiyas, atau
dengan kata lain, hukum yang ditetapkan dengan istihsan berbeda dengan hukum
lama yang ditetapkan oleh Qiyas. Dari segi inilah istihsan merupakan suatu
metode istinbat hukum yang sangat relevan dengan pembaharuan hukum Islam.
Karena istihsan berupaya melepaskan diri dari kekakuan hukum yang dihasilkan
Qiyas.
Salah
satu contoh kasus kontemporer yang dapat diangkat yaitu masalah transplantasi
organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Meskipun ada ketentuan umum yang
melarang menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenazah, namun dalil yang menyuruh
manusia untuk berobat rasanya lebih baik untuk diikuti. Dalam hal inipun
pendekatan istihsan rasanya lebih tepat untuk dilaksanakan.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Istihsan pada dasarnya adalah ketika
seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan
hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan
hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang
seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak
memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai
pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
2. Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya.
Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang
dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang
diikutinya saat beralih dari qiyas.
a. Dilihat
dari segi dalil yang ditinggalkan
dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan.
b. Ditinjau dari segi
sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas
c. Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan
yang dalam prakteknya dinamai dengan istislah
3. Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا
فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ
سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum
muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan
apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk
pula”.
Hadits
ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat
mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku :
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih,
Pustak Firdaus :Jakarta, 1999
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,
: Jakarta: Logos, 2001
Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul
al-fikih ,Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991
Akses Internet :
http://nashihuddinyatamu.wordpress.com/2012/12/09/makalah-istihsan-istishab-dan-maslahah-mursalah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar