Sabtu, 21 Februari 2015

Makalah istihsan

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG

            Sumber hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits, Ijma’. Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian masih terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujjahan qiyas dengan beberapa alasan.
            Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu pesat terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang terkadang tidak cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang pada kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.
            Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat, tentunya sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang pada sumber hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.
            Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap membutuhkan pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan syariat agama.
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan, hal itu terkait dengan definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak ketinggalan pula kita akan mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini, yang mana kita temukan banyak sekali permasalahan-permasalahan kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum yang baru.
            Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
            Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang persoalan metode berijtihad oleh para ulama, namun dalam makalah ini pembahasan cukup difokuskan pada persoalan berijtihad dengan Istihsan.

B.       RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari latar belakang, maka rumusan masalah dari makalah ini yang dapat dirumuskan ialah:
1.      Apa saja definisi-definisi tentang Istihsan?
2.      Bagaimana bentuk/macam-macam dari istihsan?
3.      Bagaimana kehujjahan Istihsan?
4.      Bagaimana dasar hukum Istihsan?

C.      TUJUAN
Makalah Istihsan ini memiliki beberapa tujuan, yakni:
1.      Untuk menginformasikan kepada Mahasiswa tentang gambaran umum/penjelasan tentang definisi-definisi istihsan
2.      Untuk memperdalam ilmu Ushl fiqh, maka makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi sederhana terhadap salah satu bagian dari materi ushl fiqh
3.      Sebagai bahan tinjauan di masa yang akan datang.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN ISTISHAN
1.      Menurut Bahasa artinya menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti,karena memang di suruh untuk itu.
2.      Menurut Istilah ulama ushul fiqih adalah berpalingnya seseorang mujtahiddari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan kiyas yang khafi(samar)atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitnainy (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini
3.      Imam al-bazdawi (400-482 H/1010-1059 M), salah seorang ahli mazhab hanafi menulis: istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang labih kuat.
4.      Adapun As-Sarakhsi (1090 M), menyatakan: istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu karena adanya dalil yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang meng hendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan. Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
  “Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
    Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
  • Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
-          Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an.
-          Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
  • Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
            Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
            Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian kasus tertentu.
            Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully .Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat .
            Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
            Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan  khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.

B.       MACAM MACAM ISTIHSAN
Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1)      Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan terbagi kepada tiga:
a)      Berpindah dari apa yang dituntut oleh qiyas zahir (jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyaskhafi. Artinya pentarjihan qiyas Khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena ada suatu dalil.
            Contoh: Fuqaha Hanafiyah menyebutkan, bahwa seorang pewakaf apabila mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomastis hak pengairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkannya, berdasarkan istihsan.
            Menurut qiyas, semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash yang menyebutkannya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah: bahwasanya yang menjadi tujuan dari wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. Pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa menyewa.
            Qiyas yang nyata adalah menyamakan wakaf dengan jual beli, karena masing-masing dari wakaf dan jual beli merupakan pengeluaran hak milik dari pemiliknya. Sedangkan qiyas yang khafi  menyamakan wakaf ini dengan sewa-menyewa, karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu pengairan, air minum, dan jalan masuk di dalam wakaf tanah, tanpa harus menyebutkannya.

b)      Berpindah dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
Contoh: tidak memotong tangan pencuri di waktu paceklik, yang menurut pemahaman umum terhadap ayat al-Qur’an (QS. Al-Maidah: 37) apabila seorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong. Namun, bila pencurian itu dilakukan pada masa paceklik, maka hukuman potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan, karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus.
c)      Pengecualian juziyyah (kasuistik) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Contoh: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitsna) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juzi, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
2)      Ditinjau  dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas, maka istihsan ada enam macam:
a)      Itihsan yang sandarannya nash. Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian itu. Seperti, menghukumkan tetap sah puasa orang yang makan atau minum karena terlupa. Hal ini berlandaskan kepada hadits Nabi saw: “Siapa saja yang makan atau minum karena lupa, maka janganlah ia berbuka, karena itu merupakan rizki yang dianugerahkan Allah.” Imam Abu Hanifah berkomentar terhadap kasus ini:  “Andaikata tiada nash yang tidak membatalkan puasa lantaran makan dan minum karena lupa, tentulah saya memandang batal puasa itu karena sudah rusak satu rukunnya yaitu menahan diri dari segala yang merusak puasa”.
b)      Istihsan yang sandarannya Ijma’. Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma’. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebenarnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang ditetapkan. Misalnya, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istihshna’( pesanan ). Menurut qiyas semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan belum ada. Akan tatapi, masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas.
c)      Itihsan yang sandarannya adalah urf (adat). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya urf yang sudah yang sudah dipraktikkan dan dikenal baik dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaedah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang dipakai, akan tetapi apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu secara istihsan boleh mempergunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya, karena sudah berlaku umum dalam masyarakat.
d)     Istihsan karena darurat. Yaitu istihsan yang disebabkan karena adanya dlarurat (terpaksa) karena adanya suatu masalah yang mendorong mujtahid untuk meninggalakan dalil qiyas. Seperti apabila saksi-saksi yang telah meninggal atau yang jauh dari tempat atau karena tidak sanggup menghadiri sidang majlis, padahal menurut asal hukum kesaksian itu harus yang melihat dengan mata kepala sendiri, dibolehkan menggunakan kesaksian orang lain.
e)      Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi, yang pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi dibanding qiyas jali. Contoh:   sisa minum burung elang, gagak, dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan melalui sitihsan. Menurut qiyas jali sisa minum binatang buas seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu karena langsung meminum dengan mulutnya diqiyaskan kepada dagingnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut biantang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri dari tulang atau zat tanduk, dan tulang dan zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan daging dan air liurnya karena diantarai oleh paruhnya.
f)       Istihsan yang sandarannya maslahah. Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka untuk kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istihan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
3)      Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai dengan istislah. Dari hal ini mereka membagi istihsan kepada tiga macam:

a)      Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf (kebiasaan). Misalnya, seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, lalu ia memakan daging ikan, maka ia tidak dinamakan melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam al-Qur’an termasuk dalam daging. hal ini terlihat dalam firman Allah: ومن كل تأكلون لحما طريا (dan dari semua yang kamu makan berupa daging yang lembut). Alasannya adalah karena dalam urf yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan tidak termasuk daging.
b)      Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan beramal dengan cara lain karena pertimbangan kemaslahatan manusia. Misalnya, tanggungjawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki suatu barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan qiyas, ia tidak perlu mengganti karena kerusakan barang itu di waktu ia membantu bekerja. Namun berdasarkan istihsan ia harus mengganti barang tersebut demi menjaga kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjaga harta orang laian.
c)      Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberi kemudahan kepada umat. Misalnya, adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang bnayak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku kalau menakar itu harus tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku. 

C.      DASAR HUKUM ISTIHSAN
            Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه .اولئك الذين هدهم الله . واولئك هم اولو الالبابز
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
            Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)

            Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.

            Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
           
D.      KEHUJJAHAN ISTIHSAN
Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini apakah merupakan dalil hukum syara atau tidak:
Pertama, jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umunya nash.Terutama Hanafiyah sangat mengutamakan istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta meninggalkan qiyas. Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu Hanifah: نستحسن هذا، وندع القيـــاس (kami memakai istihsan untuk hal ini, dan meninggalkan qiyas). Ucapan Abu Hanifah ini diperkuat oleh Abu Al-Khattab dengan ungkapannya : “Saya menolak istihsan tanpa delil, dan menerimanya apabila ada dalil yang jelas dan meninggalkan qiyas”.Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan, tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan hukum hanya menurut kemauannya saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang baik sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum, karena demikianlah arti yang ditunjukkan oleh kata  isthsan itu. Banyak fuqaha yang tidak mengetahui hakikat  istihsan  yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah, dan karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah sampai kepada mencelanya sebagai orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.
Setelah timbul kritikan-kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan yang banyak dilakukan oleh imam mereka. Di antara mereka adalah Imam As-Syarkhasi,  yang mengarang sebuah kitab terkenal yang menjadi rujukan bagi pengikut mazhab Hanafi, bernama “Ushul al-Syarkhasi”. Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya isthsan itu tidak keluar dari dalil-dalil syarak. mereka mengatakan bahwa hakikat istihsan adalah dua macam qiyas. Pertama, qiyas jaly tapi lemah pengaruhnya, inilah yang dinamakan dengan qiyas. Kedua, qiyas khafi tapi pengaruhnya kuat, inilah yang dinamakan dengan istihsan, oleh karena itu dalam dua hal ini yang dipandang adalah pengaruhnya, bukan jelas atau tidaknya qiyas. Pengaruh yang lebih kuat itulah yang menyebabkan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagain Hanabilah lebih mengutamakan istihsan daripada qiyas. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan istihsan daripada qiyas semata-mata didasarkan kepada pengaruh hukumnya, bukan didasarkan pada khafi atau jali-nya bentuk qiyas.
Bagi Hanafiyah dan Malikiyah pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan ini juga disebut dengan segi istihsan.
Adapun dalil yang dipegang oleh ulama yang meyakini istihsan sebagai dalil hukum adalah:
-        فَبَشِّرْ عِباَدِيَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ....
”Berilah kabar gembira kepada hamba-hambaKu yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya....” (QS. Az-Zumar: 18)
-         وأمر قومك يأخذوا بأحسنـــــها.....
“Suruhlah kaummu (Musa) berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya...”(QS. Al-A’raaf: 145)
-         يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر..
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”(Qs. Albaqarah: 185)
-        ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“ Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam, maka ia dihadapan allah juga baik” (HR. Ahmad ibn Hanbal)
Kedua, kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan menyatakan bahwa istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu semata. Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil hukum ini adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama Syi’ah qathibah. Imam Syafi’i  merupakan ulama yang sangat keras mengeritik isthsan tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam ungkapannya: من استحسن فقد شرع“Siapa yang memakai istihsan maka telah membuat sendiri hukum syara’..”. Oleh karena itu bagi Syafi’i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah haram apabila dia bertentangan dengan khabar yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits.  Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan Imam Syafi’i dinyatakan: “perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut sitihsan bahwa arah itu adalah arah ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah ka’bah itu.” Setelah Imam Syafi’i mengkritik Hanafi dan pengikutnya, lalu diikuti oleh Ulama dari ahli Theologi, mereka mengatakan bahwa bahwa istihsan adalah dalil yang rusak  dan tidak bisa digunakan sebagai metode mengistinbathkan hukum.
Adapun landasan mereka mengkritik dan menolak dalil istihsan adalah:
a.       Tidak boleh membuat sebuah hukum kecuali dengan nash atau dengan yang diqiyaskan dengan nash, karena hal terebut berarti membuat hukum syara’ dengan keinginan hawa nafsu. Allah Swt berfirman: وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهوائهم (dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka...(QS. Al-Maidah: 49).
b.      Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. tidak pernah berfatwa dengan menggunakan istihsan, akan tetapi dia menunggu hingga wahyu turun, walaupun sekiranya dia beristihsan itu adalah benar, karena dia berbicara bukan karena kehendak hawa nafsu.
c.       Istihsan itu dasarnya adalah akal, akal itu ada yang pintar ada yang bodoh, kalau sekiranya seseorang boleh beristihsan, berarti setiap orang boleh menetapkan hukum syara’ yang baru untuk dirinya sendiri.
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat mazhab Hanafi  berbeda dari istihsan menurut pendapat mazhab Syafi’i dan dan lainnya. Menurut mazhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut mazhab Syafi’i dan dan yang lainnya istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Al-Syathibi dalam bukunya Al-Muwaafaqaat menengahi kedua kubu ini dalam ungkapannya: “Orang yang menetapkan hukum berdasarkn istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah swt. menciptakan syara’ dan sesuai  pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”
kelompok ketiga, menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum syara’, akan tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia menopang kepada dalil syara’ yang lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan urf, atau dengan maslahah. Pendapat ini dipegang oleh Al-Syaukani. Hal ini terlihat dalam ungkapannya: “Istihsan merupakan dalil syara’ yang tidak berdiri sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki manfaat, karena dia hanya menegaskan dalil yara’ yang telah ada sebelumya, ketika dia keluar dari dalil syara’ yang ada itu maka dia tidak bisa dijadikan dalil hukum lagi.”
Menurut hemat penulis walaupun istihsan bukan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun ia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian ulama mujtahid dalam menetapkan dalil-dalil syara’ dan kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini untuk menghindari kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan dengan cara menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.

E.    Relevansi Istihsan di Masa Kini dan Mendatang
Seperti yang telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara konvesional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Dengan cara konvesional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang (tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan yang konvesional tersebut. Pendekatan yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang disebut istihsan.
Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa hukum-hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan sebagai fiqh waq’i bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian oarang yang tidak mengetahui hakikat fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia daripadanya.
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin komplek, permasalahan itu harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum islam. Kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama (konvesional) yang digunakan oleh ulama terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan tersebut dengan baik (tepat). Karena itu, si mujtahid harus mampu menemukan pendekatan atau dalil alternatif di luar pendekatan lama. Oleh karena itu kecendrungan untuk menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Dengan menggunakan dasar istihsan, kita dapat menghadapi masalah perbankan yang telah menjadi masalah yang sangat penting dalam masalah ekonomi.
Permasalahannya ialah Jika seseorang mendepositokan uangnya di bank, bolehkah ia menerima bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama. dengan riba? Ketika kita bertanya kepada ulama yang, dari golongan apa saja. Ada tiga kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak tahu. Anehnya bila golongan yang ditanya --Muhammadiyah, Persis, NU jawabannya satu. Semua golongan itu sepakat (ijma') untuk menyimpan uangnya di bank dan memanfaatkan bunganya, tentu saja bagi kepentingan umat Islam. Bila diminta fatwa lisan atau tulisan, verba non acta, sekali lagi jawabannya akan beragam. Kebanyakan di antara umat Islam masih belum mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan.
Ulama yang ditanya itu memang mengalami kesulitan dalam menetapkan status hukumnya. Deposito dan bunganya tidak dikenal di zaman Rasulullah saw. Mereka tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadits-- yang menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Ada memang ketentuan tentang riba, tapi apakah riba sama dengan bunga deposito?Kesulitan seperti itu telah dihadapi para ulama sepanjang sejarah. Yang kita sebut syari'at pada mulanya hanya menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang sederhana dan hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas. Permasalahan lain yang yang membutuhkan istihsan pada saat ini seperti Arisan, Koperasi, Transaksi lewat ATM, menanam investasi, Demokrasi dan sebagainya.


F.     ALASAN ULAMA SYAFI’IYAH DAN SEPAHAMNYA YANG MENOLAK ISTIHSAN SEBAGAI DALIL
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Alasan alasan Syafi'i menolak istihsan:
Mengambil Istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak berhukum dengan nash. Orang yang melakukan istihsan berarti dalam keadaan "suda", yaitu menetapkan hukum dengan menyalahi al Qur'an dan sunnah.
a.       Melakukan istihsan berarti menentang ayat ayat al Qur'an yang memerintahkan agar mengikuti wahyu dan menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran (al haq) yang diturunkan Allah dan mengikuti hawa nafsu.
b.      Rosulullah mengingkari hukum yang diterapkan shohabat yang mendasarkan dengan istihsan, yaitu mereka membunuh laki laki yang melekat pada pohon.
c.       Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama'.
d.      Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al Qur'an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.

G.      RELEVANSI ISTIHSAN DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
            Pembaharuan hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menjadikan perkembangan baru itu sebagai pertimbangan hukum agar hukum tersebut betul-betul mampu merealisasi tujuan syariat dan selalu berpedoman pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang dibawa al-Qur‟an dan Hadits. Jadi pembaharuan hukum Islam bukan berarti menetapkan hukum Islam yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru secara sembarangan tanpa pedoman dan batasan.
            Istihsan meskipun bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, namun dia menyingkap jalan yang ditempuh sebagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang di dalam masyarakat. Hal ini untuk menghilangkan kesulitan dan kemudharatan serta menghasilkan kemanfaatan dengan jalan menerapkan dasar-dasar syariat dan sumber-sumbernya.
            Istihsan pada hakikatnya dapat merombak hukum lama yang ditetapkan dengan qiyas, atau dengan kata lain, hukum yang ditetapkan dengan istihsan berbeda dengan hukum lama yang ditetapkan oleh Qiyas. Dari segi inilah istihsan merupakan suatu metode istinbat hukum yang sangat relevan dengan pembaharuan hukum Islam. Karena istihsan berupaya melepaskan diri dari kekakuan hukum yang dihasilkan Qiyas.
            Salah satu contoh kasus kontemporer yang dapat diangkat yaitu masalah transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenazah, namun dalil yang menyuruh manusia untuk berobat rasanya lebih baik untuk diikuti. Dalam hal inipun pendekatan istihsan rasanya lebih tepat untuk dilaksanakan.


BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN

1.      Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan  khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
2.      Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
a.       Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan.
b.      Ditinjau  dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas
c.       Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai dengan istislah
3.      Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.

      Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.



DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku :
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustak Firdaus :Jakarta, 1999
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, : Jakarta: Logos, 2001
Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih ,Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991
Akses Internet :
http://nashihuddinyatamu.wordpress.com/2012/12/09/makalah-istihsan-istishab-dan-maslahah-mursalah/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar