EFEKTIFITAS HUKUM DALAM MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan disiplin ilmu yang
sudah dewasa sangat berkembang dewasa ini. Bahkan kebanyakan penelitian
sekarang di Indonesia dilakukan dengan mengunakan metode yang berkaitan dengan
sosiologi hukum dalam sejarah tercatat bahwa istilah “Sosiologi hukum pertama
sekali digunatkan oleh seorang berkebangsaan Itali yang bernama Anzilloti pada
tahun 1822 akan tetapi istilah sosiologi hukum tersebut bersama setelah
munculnya tulisan-tulisan Roscoe Pound (1870 – 1964 ), Eugen Ehrlich ( 1862 –
1922 ), Max Weber ( 1864 – 1920 ), Karl Liewellyn (1893 – 1962), dan Emile
Durkhim (1858 – 1917). )
Pada prinsipnya sosiologi hukum
(Sociologi of Law) merupakan cabang dari Ilmu sosiologi, bukan cabang dari dari
Ilmu Hukum. Memang ada studi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat
yang merupakan cabang dari Ilmu hukum tetapi tidak di sebut sebagai sosiologi
hukum melainkan disebut sebagai Sociologi Jurispurdence.
Pemelahan hukum secara sosiologi
menunjukan bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat. Yakni
merupakan refleksi dari unsur unsur sebagai berikut:
1. Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat,
dan perilaku masyarakat.
2. Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas
masyarakat maupun moralitas universal.
3. Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat
terhadap suatu keadilan dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar
anggota masyarakat.
Disamping itu, pesatnya perkembangan
masyarakat , teknologi dan informasi pada abad kedua puluh, dan umumnya sulit
di ikuti sektor hukum telah menyebabkan orang berpikir ulang tentang hukum.
Dengan mulai memutuskan perhatianya terhadap interaksi antara sektor hukum dan
masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan. Namun masalah kesadaran hukum
masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting dari efektivitas suatu
hukum yang diperlakukan dalam suatu negara.
Sering disebutkan bahwa hukum
haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Artinya hukum tersebut
haruslah mengikuti kehendak dari masyarakat . Disamping itu hukum yang baik
adalah hukum yang baik sesuai dengan perasaan hukum manusia (pelarangan).
Maksudnya sebenarnya sama, hanya jika kesadaran hukum di katakan dengan
masyarakat, sementara perasaan hukum dikaitkan dengan manusia.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah ruang lingkup permasalahan hukum?
2. Apa saja contoh kasus inkonsistensi penegakan hukum
di Indonesia?
3. Bagaimana
akibat inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia?
4. Bagaimana pengaruh eksistensi masyarakat dalam
efektivitas hukum?
C. Tujuan
Adapun tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Sosiologi
Hukum.
2. Untuk mengetahui efektivitas berlakunya hukum di
dalam masyarakat.
3. Agar mampu menganalisis penerapan hukum di dalam
masyaraka.
4. Agar mampu memetakan masalah-masalah sosial dalam
kaitannya dengan penerapan hukum di masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Permasalahan Hukum
Salah satu fungsi hukum adalah
sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain
sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang
hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian
diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum
berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan
tidak memihak.
Pelaksanaan hukum di Indonesia
sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa
penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang
dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan
atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat
diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Seiring dengan runtuhnya rezim
Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang tertindas oleh hukum bergerak mencari
keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak dahulu. Namun kadang usaha mereka
dilakukan tidak melalui jalur hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan
di daerah-daerah persengketaan tanah yang lain, konflik perburuhan yang
mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik, dan sebagainya.
Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap
hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan
ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi
tidak terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
Permasalahan hukum di Indonesia
terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya,
inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum
. Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan
dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh
aparat.
Inkonsistensi penegakan hukum ini
kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan
terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi
penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun
cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan
sebagainya). Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari,
baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa
terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat
bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa
ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang
bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil
tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai
pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
Contoh peristiwa klasik yang menjadi
bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan
karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan
penjara karena adanya bukti nyata. Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998
ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum. Ketimpangan dan
putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan
dari hari ke hari.
B. Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di
Indonesia
Kasus-kasus
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulis
mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh
masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun
peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik.
1. Tingkat Kekayaan Seseorang
Salah satu keputusan kontroversial
yang terjadi adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN
Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal
hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan. PN
Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan menetapkan
terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa
ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara
puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi
hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat.
Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah
lainnya.
Dibandingkan dengan kasus pencurian
kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan negara “hanya” sekian
puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding.
Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan
lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh dengan tarif
mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang
dengan tingkat kekayaan tinggi.
Kita bisa membandingkan dengan kasus
Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 . Tasiran,
seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter persegi
warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga bulan dengan masa percobaan
enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli tanah
sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran kembali
masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran
berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir BojonegoroJakarta lebih dari
100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes
Polri, DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia
kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.
2. Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus Ancolgate berkaitan dengan
studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan) yang
diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding
tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ
anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan
uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus
ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif,
sementara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI
Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Dalam kasus ini, terlihat
penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik
menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut.
Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah
tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat
terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak
kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke
pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT
Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat, janji
untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana.
Selain itu, bila dikaitkan dengan
kasus Bibit dan Candra para penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasaan,
namun tidak sesuai dengan harapan-harapan masyarakat. Oleh karena itu banyak
mendapat tangtangan dari para tokoh dan para ahli hukum di Indonesia. ) Suatu
perbuatan hukum yang dilakukan tanpa memperhatikan pendapat umum mengandung
risiko untuk tidak bisa dijalankan dengan baik. Keadaan yang ini lebih-lebih
akan terjadi, manakala perbuatan hukum itu melibatkan pendapat-pendapat yang
bertentangan dalam masyarakat. Apa bila Negara dalam hal ini Jaksa Agung tetap
memaksakan kehendaknya untuk meloloskan hukum atau undangundang yang isinya
mendapat tentangan dari masyarakat, maka ongkos sosial yang harus
dikeluarkannya bisa tinggi. )
Oleh karena itu Kejaksaan Agung
tidak melanjutkan kasus Bibit dan Candra sudang seharusnya demikian, jadi
disamping melihat hukum secara formal juga melihatnya hukum sosialnya. Namun
demikian masih ada lagi yang masih menjadi pertanyaan di masyarakat, awalnya
Kejaksaan Agung kasus Bibit dan Candra berulang kali mengatakan sudah cukup
bukti untuk dilanjutkan kepenuntutan dan dikelurkan lah P21 namun terahir kasus
tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan demi hukum, nah alasan inilah yang
masih menyisakan pertanyaan dimasyarakat.
Semestinya Kejaksaan Agung
menggunakan wewenang yang diberikan oleh undang-undang Nomor 16 tahun 2004
tentang Kajaksaan yaitu pasal 35 Huruf c, Jaksa Agung berwenang mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum (hak oportinitas. Dengan demikian, oportunitas
Jaksa Agung memiliki wewenang mengesampingkan perkara Bibit dan Candra demi kepentingan
umum. ) Penegakan hukum harus mengutamakan rasa keadilan dan berlasdaskan hati
nurani. Karena itu, ketika penerapan tidak menunjukkan rasa keadilan dan hati
nurani, peraturan itu dapat dilanggar. Saat proses hukum secara formalitas
sudah dilaksanakan dengan benar, tetapi dalam penerapannya ternyata juga
melanggar hak-hak asasi manusia, maka hak asasi manusia harus menjadi preoritas
keputusan. )
3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok,
anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS,
diperingan hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi
dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya
selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer
tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus
narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU
Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan
eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.
Tommy Soeharto, anak mantan presiden
Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus manipulasi tukar gling
tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah,
sampai saat ini tidak berhasil ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai
perintah pengadilan setelah permohonan grasinya ditolak oleh presiden.
Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling
berkomentar melalui media cetak dan elektronik. Dua kasus ini mengesankan
adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.
C. Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di
Indonesia
Inkonsistensi penegakan hukum di
atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa
melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat
bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang
terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat
membantu korban atau melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri
tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi
penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana
perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum
di Indonesia.
1.
Ketidakpercayaan
Masyarakat pada Hukum
Masyarakat meyakini bahwa hukum
lebih banyak merugikan mereka, dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang
melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya
“damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke
pengadilan. Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah
dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu
dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya
menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan pidana
pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan.
Pendapat umum menempatkan hakim pada
posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian
peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini
juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan
argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat
dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu
perkara. Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan
disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi
lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus
menunjukkan aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan
ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena
itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa kasus pengadilan yang
memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan kroni
mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena
dakwaan yang lemah.
2.
Penyelesaian
Konflik dengan Kekerasan
Penyelesaian konflik dengan
kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di Indonesia. Suatu
persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat
berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran
dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa
beberapa waktu yang lalu merupakan contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini
menerapkan hukum yang bersifat menekan (repressive).
Masyarakat menerapkan sanksi
tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlahkerugian obyektif yang
menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul
karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran
kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain
agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama.
Pada beberapa kasus yang lain,
masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga Palmeriam
dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar seperti
Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik
antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi tidak
dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan melalui tindakan kelompok.
Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut sama sekali, masing-masing
kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi
bagi pelaku yang melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan
adanya argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa. Suatu kesalahan yang
berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok
tersebut.
D. Pengaruh Eksistensi Masyarakat dalam Efektivitas Hukum
Apabila ditilik dari proses
perkembangan hukum dalam sejarah terhadap hubungan dengan eksistensi dan
peranan dari kesadaran hukum masyarakat ini dalam tubuh hukum positif, terdapat
suatu proses pasang surut dalam bentangan waktu yang teramat panjang. Hukum
masyarakat primitif, jelas merupakan hukum yang sangat berpengaruh, bahkan
secara total merupakan penjelmaan dari hukum masyarakatnya.
Masalah kesadaran hukum masyarakat
mulai lagi berperan dalam pembentukan, penerapan, dan penganalisan hukum.
Dengan demikian, terhadap hukum dalam masyarakat maju berlaku ajaran yang
disebut dengan co-variant theory. Teory ini mengajarkan bahwa ada kecocokan
antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku hukum. Disamping itu berlaku juga
doktrin volksgeist (jiwa bangsa) dan rechtsbemu stzijn (kesadaran hukum)
sebagaimana yang diajarkan oleh Eugen Ehrlich misalanya doktrin-doktrin
tersebut mengajarkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan jiwa bangsa/kesadaran
hukum masyarakat. Kesadaran hukum dipandang sebagai mediator antara hukum dan
bentukbentuk prilaku manusia dalam masyarakat.
1.
Faktor –
faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum dalam masyarakat
Bila membicarakan efektifitas hukum
dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan
atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum yang di
maksud berarti mengkaji kembali hukum yang harus memenuhi syarat ; yaitu
berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku secara filosofis.
Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam
masyarakat yaitu :
a.
Kaidah Hukum
Dalam teori
Ilmu hukum dapat dibedakan tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai
kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut:
- Kaidah hukum berlaku secara
yuridis apabila penetuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi
tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
- Kaidah hukum berlaku secara Sosiologis
apabilah kaidah tersebut efektif artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan
berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori
Kekuasaa). Atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
- Kaidah hukum berlaku secara filosofis yaitu
seseai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
b. Penegak Hukum
Dalam hal
ini akan dilihat apakah para penegak hukum sudah betul–betul melaksanakan tugas
dan kewajibannya dengan baik, sehingga dengan demikian hukum akan berlaku
secara efektif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya para penegak hukum
tentu saja harus berpedoman pada peraturan tertulis, yang dapat berupa
peraturan perundang–undangan peraturan pemerintah dalam aturan–aturan lainnya
yang sifatnya mengatur, sehingga masyarakat mau atau tidak mau, suka atau tidak
suka harus patuh pada aturan–aturan yang dijalankan oleh para penegak hukum
karena berdasarkan pada aturan hukum yang jelas. Namun dalam kasus–kasus
tertentu, penegak hukum dapat melaksanakan kebijakan–kebijakan yang mungkin
tidak sesuai dengan peraturan– peraturan yang ada dengan
pertimbangan–pertimbangan tertentu sehingga aturan yang berlaku dinilai
bersifat fleksibel dan tidak terlalu bersifat mengikat dengan tidak menyimpang
dari aturan– aturan yang telah ditetapkan.
c. Masyarakat
Kesadaran
hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan
merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap kesadaran hukum
masyarakat sangat berpengaruh terhadap kepatuhan hukum, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dalam masyarakat maju orang yang patuh pada hukum karena
memang jiwanya sadar bahwa mereka membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan
baik untuk mengatur masyarakat secara baik benar dan adil. Sebaliknya dalam
masyarakat tradisional kesadaran hukum masyarakat berpengaruh secara tidak
langsung pada kepatuhan hukum. Dalam hal ini mereka patuh pada hukum bukan
karena keyakinannya secara langsung bahwa hukum itu baik atau karena mereka
memang membutuhkan hukum melainkan mereka patuh pada hukum lebih karena
dimintakan, bahkan dipaksakan oleh para pemimpinnya (formal atau informal) atau
karena perintah agama atau kepercayaannya. Jadi dalam hal pengaruh tidak
langsung ini kesaaran hukum dari masyarakat lebih untuk patuh kepada pemimpin,
agama, kepercayaannya dan sebagainnya.
Namun dalam
dalam perkembangan saat ini bagi masyarakat modern terjadi pergeseran–
pergeseran dimana akibat faktor–faktor tertentu menyebabkan kurang percayanya
masyarakat terhadap hukum yang ada salah satunya adalah karena faktor penegak
hukum yang menjadikan hukum atau aturan sebagai alasan untuk melakukan
tindakan–tindakan yang dianggap oleh masyarakat mengganggu bahkan tidak kurang
masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh oknum– oknum penegak hukum seperti
itu apalagi masih banyak masyarakat yang awam tentang masalah hukum sehingga
dengan mudah dapat dimanfaatkan sebagai objek penderita.
2.
Pengaruh
Kesadaran Hukum Dalam Perkembangan hukum
Dalam tubuh hukum terjadi semacam
perkembangan sehingga sampai pada hukum yang maju, atau diasumsi maju seperti
yang dipraktekan saat ini oleh berbagai negara. Perkembangan hukum itu sendiri
umumnya terjadi sangat lamban meskipun sekali terjadi agak cepat. Namun
perkembangan dari hukum kuno pada hukum modern merupakan perjuagan manusia
tiada akhir satu dan lain hal disebabkan masyarakat, dimana hukum berlaku
berubah terus menerus dalam perkembangan hukum itu sendiri terkadang dilakukan
dengan revisi atau amendemen terhadap undang–undang yang sudah ada tetapi
sering pula dilakukan dengan menganti undang–undang lama dengan undang–undang
baru. Bahkan hukum modern telah menentukan prinsip dan asas hukum yang baru dan
meninggalkan prinsip dan asas hukum yang lama dan sudah cenderung ketinggalan
zaman. Dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat, hukum mengatur tentang
masalah struktur sosial, nilai–nilai dan larangan–larangan atau hal–hal yang
menjadi tabu dalam masyarakat.
Dalam abad Ke-20 terjadi perkembangan
diberbagai bidang hukum dimana sebagiaan hukum disebagian negara sudah
menyelesaikan pengaturannya secara tuntas, tetapi sebagian hukum di negara lain
masih dalam proses pengaturannya yang berarti hukum dalam bidang-bidang
tersebut masih dalam proses perubahannya. Hukum merupakan kaidah untuk mengatur
masyarakat, karena itu hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan
masyarakat, bahkan hukum harus dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya
masyarakat secara lebih tepat dan terkendali. Kerena terdapatnya ketertiban
sebagai salah satu tujuan hukum, dengan begitu terdapat interaksi antara hukum
dan perkembangan masyarakat.
Namun tidak dapat diabaikan salah
satu faktor yang mengikuti perkembangan hukum dalam masyarakat adalah kesadaran
hukum masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran
penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran
masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya sebaliknya semakin kuat
kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan hukum. Sehingga proses
perkembangan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan/keefektivan hukum:
1. Hukum/UU/peraturan
2. Penegak Hukum (pembentuk hukum maupun penerap
hukum)
3. Sarana atau fasilitas pendukung
4. Masyarakat
5. Budaya hukum (legal cultur)
Perlu ada syarat yang tersirat yaitu
pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah
bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku.
Faktor yang mempengaruhi keefektivan
hukum:
1. Mudah tidaknya ketidaktaatan atau pelanggaran hukum
itu dilihat/ disidik. Makin mudah makin efektif. Contoh Pelanggaran narkoba
(hukum pidana) lebih mudah dari pada pelanggaran hak asasi manusia(HAM).
2. Siapakah yang bertanggung jawab menegakkan hukum
yang bersangkutan. Contoh narkoba: tanggung jawab negara : leih efektif, HAM :
taggung jawab individu/ warga : kurang efektif.
B. Saran
Agar hukum dapat berjalan dengan
efektif, sebaiknya:
1. UU dirancang dengan baik, kaidahnya jelas, mudah
dipahani & penuh kepastian.
2. UU sebaiknya bersifat melarang (prohibitur) dan
bukan mengharuskan/ membolehkan (mandatur).
3. Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan.
4. Beratnya
sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding dengan pelanggarannya).
5. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat.
6. Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan
moral.
7. Pelaksana hukum menjalankan tugasnya dengan baik,
menyebarluaskan UU, penafsira seragam dan konsisten.
DAFTAR
PUSTAKA
- Ali, Achmad.,
Pengadilan dan Masyarakat, Hasanudin University Press. Ujung Pandang: 1999.
- Doyle, Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan
Modern, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia. Jakarta: 1986.
- Indrianto Senoadji.Humanisme dan pembaruan Penegakan
Hukum. Kompas, Jakarta: 2009.
- Mahfud MD, Kompas tgl 7 Januari 2010.
- Sahri, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat. MHS S2
Hukum Untag. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti. Bandung: 2000.
- Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia,
Ind-Hill-Co. Jakarta: 1997.
- Sofia, Kesadaran Hukum Masyarakat dan Pengaruhnya
bagi Efektivitas Perkembangan Hukum. MHS S2 Hukum UID.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar