RIWAYAT
TANAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
(Relasi dengan Pancasila, UUD 1945, UUPA,
Reformasi Agraria dan Demokrasi Pancasila)
SEBELUM MASA PENJAJAHAN BELANDA.
Penguasa dan pemilik tanah di Nusantara adalah Kerajaan (tanah swaparaja) dan Mayarakat Adat
(tanah ulayat).
PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA.
Diberlakukan
:
1) Domain
Verklaring : Semua tanah milik Pemerintah Jajahan kecuali apabila bisa membuktikan
pemilikannya sehingga Pribumi dianggap sebagai OKUPAN (penggarap), karena
pembuktian kepemilikan harus tertulis sesuai Hukum Perdara Barat, hal ini tidak
memungkinkan bagi Masyarakat Adat.
2)
Agrarish Wet
: untuk mengundang investor maka diterbitkan Hak Eigendom untuk hak milik, Hak
Erpach untuk perkebunan, Hak Opstal untuk bangunan. Tanah kerajaan dipetakan sebagai Sultan
Ground (tanah swapraja). Hak Adat dan hak masyarakat adat tidak diakui.
3)
Kojnklik Besluit : Hanya warga eropa yang dapat memiliki
Hak Eigendom atau yang dipersamakan dengan warga eropa dengan Besluit dari Ratu
Belanda, sehingga hanya dipunyai oleh warga timur asing yang kaya (seperti Oei
Tiong Ham) dan para Raja2 nusantara yang berpengaruh.
4) Hukum
Perdata Barat.
Sejak
itu berduyun-duyun para kapitalis berkembang di bumi nusantara. Selama
penjajahan terjadi ketidakadilan dan penghisapan manusia atas manusia dalam
rangka pengembangan kolonial Belanda.
Tahun 1928 terjadilah SUMPAH PEMUDA dimana Bangsa Indonesia diikrarkan di Nusantara oleh
para pemuda dari berbagai daerah Nusantara, walaupun sebelumnya telah ada
pertemuan para raja se Nusantara untuk
bersatu tetapi belum sampai terwujud dalam bentuk ikrar kebulatan tekad sebagaimana para pemudanya di Nusantara.
PADA MASA PROKLAMASI KEMERDEKAAN.
Pada saat proklamasi kemerdekaan NKRI oleh Soekano-Hatta dinyatakan oleh
Soekarno bahwa wilayah NKRI adalah wilayah bekas Jajahan Belanda dari Sabang
sampai Marauke, namun disanggah oleh Gubernur Jenderal Belanda yang tidak rela
melepaskan wilayahnya. Raja
Hamengkubuwono IX yang diikuti Raja
Pakualam VIII menggabungkan diri dengan NKRI saat itu juga, sedang raja-raja lainnya
tidak bergabung dengan NKRI sehingga Nusantara menjadi Republik Indonesia
Serikat, NKRI ada dengan modal wilayah
Jogjakarta. Setelah Nusantara aman dari
Gerakan Operasi Militer Belanda ke I & II maka Jogjakarta dinyatakan
sebagai Daerah Istimewa (1953), sedangkan eks kerajaan lainnya tidak dinyatakan
sebagai Daerah Istimewa, malah dinyatakan sebagai tanah yang menjadi milik
bangsa Indonesia yang dikuasai negara dan dijadikan tanah obyek land reform
dibagikan kepada para penggarapnya.
Sejak tahun 1948 telah terbentuk Panitia Agraria Jogjakarta dengan
semangat menegakkan keadilan dan
menghapuskan penghisapan manusia atas manusia di tanah NKRI dengan
menghindarkan diri dari NEO KOLONIALIS dan IMPERIALIS. Sangat disadari fondasi
lokal Nusantara adalah agraris dan
maritim, maka tanah sebagai modal dasar bagi petani sebagai alat ekonomi dan
tempat tinggal dan bagi nelayan sebagai tempat tinggal serta laut sebagi tempat
mencari nafkah dengan perahu/kapal sebagai alat ekonominya.
Pada tahun 1960 di syahkan Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikenal dengan UUPA mencabut :
- Agrarisch Wet.
- Domein Verklaring.
- Kojnklik Besluit.
- Buku II Hukum Perdata Barat (Indonesia) sepanjang
yang berkaitan dengan tanah tidak diberlakukan lagi dan diganti
berdasarkan Hukum Adat.
Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) adalah penjabaran dari
Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Bumi, Air dan
Ruang Angkasa serta kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta perekonomian dibangun
berazaskan kekeluargaan (gotong royong). Selain itu UUPA juga menjabarkan sila-sila
pada Pancasila ke dalam pasal-pasalnya, antara lain bahwa tanah sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia bersifat ABADI. Artinya Negara tidak memiliki tanah
karena Domein Verklaring tidak
diberlakukan oleh NKRI. Pemilik tanah NKRI adalah Rakyat /Bangsa Indonesia
termasuk kekayaan alam yang dikandungnya. Negara tidak memiliki tanah NKRI tetapi sebagai
wakil organisasi bangsa menguasai tanah dalam arti mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya diwilayah tanah kedaulatan untuk
kesejahteraan baik secara perorangan maupun bersama-sama (gotong-royong). Pengertian tanah di UUPA adalah kulit bumi
termasuk diatas dan dibawahnya sepanjang berhubungan dengan penggunaan
tanahnya, laut termasuk kulit bumi dan berada diatas tanah. Contoh lainnya,
yaitu : hanya WNI yang dapat memiliki tanah, pemilikan tanah dibatasi, tanah
pertanian hanya untuk petani, tanah berfungsi sosial, dilarang tanah sebagai
barang spekulasi, monopoli tanah dilarang, kecuali diatur dalam undang2
tersendiri dsbnya.
BUNG
KARNO menyatakan bahwa tanggal 24
September 1960, hari lahirnya UUPA yang merupakan hari kemenangan bagi RAKYAT
TANI INDONESIA, dengan diletakkan dasar-dasar bagi penyelenggaraan Land
reform untuk mengikis habis sisa-sia
imperialisme dalam lapangan pertanahan,
agar rakyat tani dapat membebaskan dari segala macam bentuk penghisapan manusia
atas manusia dengan beralat tanah, menuju ke arah masyarakat adil dan
makmur.
UUPA adalah alas bangunan NKRI menuju masyarakat adil dan makmur, sehingga pada tahun 1963 terbit Keputusan
Presiden Republik Indonesia no 169/1963
tentang penetapan 24 september sebagai HARI TANI. Amanat politik UUPA jelas sekali terbaca
dalam konsideran Keppres tersebut bahwa
; (i) Tanah sebagai basis
perekonomian nasional; (ii). Perekonomian yang berdaulat diatas kedaulatan
rakyat tani; (iii). Menghindarkan diri dari Nekolim, neoimperialisme dan
neokolonialisme, dalam bentuk penghisapan manusia atas manusia; (iv). Secara
teknis dilaksanakan melalui dua sayap, land reform dan acces reform.
Setelah UUPA dengan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu)
no 224/1961 dlaksanakan Land reform terhadap tanah kelebihan pemilikan, tanah
absente (tanah milik yang terletak di luar kecamatan dan kecamatan perbatasan
letak tanah) , tanah swapraja (kerajaan/kraton) dan tanah ex swapraja yaitu
tanah2 kerajaan yang tidak bergabung dgn NKRI pada masa RIS kecuali kraton
Ngayogjakarta dan Pakualaman yang dinyatakan istimewa dan belum memberlakukan
UUPA di Daetah Istimewa Yogyakarta.
ERA ORDE BARU.
Tragedi tahun 1965 menghambat pelaksanaan land reform dengan pergantian rezim pemerintahan karena
disinyalemen bahwa UUPA berpaham kekiri-kirian oleh rezim orde baru. Padahal
UUPA merupakan penjabaran keagraiaan/pertanahan
sebagai aplikasi sila-sila dalam
Pancasila dan satu-satunya undang-undang
yang dibuat oleh Panitia Negara di RI. UUPA berazaskan kerakyatan sebagai
konsekwensi logis dari tanah merupakan karunia Tuhan YME kepada bangsa
indonesia bersifat abadi, dimana rakyat adalah pemilik abadi tanah NKRI.
Namun pada tahun 1967 terbitlah
Undang-Undang Pokok Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang
Pengairan, Undang-Undang Perindustrian dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing/
Dalam Negeri tidak mengacu UUPA dan memberlakukan
kembali Domein Verklaring untuk mengundang para kapitalis dan neoliberalis ke
bumi Nusantara dengan dalih pembangunan membutuhkan investasi, sehingga
mengakibatkan tumbuh suburnya para spekulan tanah dan monopoli tanah dikalangan
konglomerat. Sejak saat itulah dimulai
penjajahan periode kedua terhadap Rakyat indonesia oleh pihak luar yang
difasilitasi bangsa sendiri.
Padahal jika UUPA diberlakukan dan dijadikan acuan dari Undang-Undang
lainnya yang berkaitan dengan tanah maka seluruh kekayaan alam yang terdapat di
atas dan yang terkandung di dalam tanah adalah milik bangsa sehingga seluruh
usaha yang terkait, yang selama ini
dilakukan Badan Usaha Milik Negara/Daerah ataupun kerja sama dengan pihak asing
haruslah di audit setiap tahunnya sebagai pertanggung jawaban kepada bangsa
selaku pemilik tanah.
Dilain pihak Undang-Undang no 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
yang sifatnya menyeragamkan desa berakibat merusak tatanan Desa Adat apalagi
dengan adanya Inpres Bantuan Desa menjadikan pemecahan Desa Adat secara
administrasi.
Rancangan Undang-Undang Pertanahan berdasarkan hukum adat sebagai
penjabaran UUPA hingga saat ini belum terpikirkan untuk disusun oleh BPN RI,
serat masih diberlakukannya bukti hak lama (Agrarich Wet) oleh Pengadilan
Negeri yang berdasarkan Kitab Hukum Perdata Indonesia (yang mengacu pada hukum
perdata Belanda), bukan hukum adat sebagaimana perintah UUPA, juga Pengadilan
Land Reform dibubarkan dan hingga saat ini belum dibentuk Pengadilan
Agraria/Pertanahan. Kesemuanya itu menambah makin ruwetnya pertanahan di NKRI apalagi sampai saat ini
belum terbangun data base bidang tanah secara nasional. Pembonsaian UUPA dan
carut marut pertanahan di NKRI semakin marak sejak rezim orde baru yang berlangsung
sampai saat ini.
Kasus-kasus konflik agraria dimasyarakat
yang marak terjadi saat ini menunjukkan adanya kebijakan negara yang salah yang
terus dilaksanakan yaitu memberlakukan Domain Verklaring kembali di bumi
nusantara dan dibonsainya UUPA
mengakibatkan menjerat rakyatnya sendiri sehingga tidak sesuai dengan cita-cita
kemerdekaan NKRI oleh bangsa Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta.
SARAN PEMECAHAN.
- Membangun data base Sistem Informasi Manajemen
Pertanahan Nasional (SIMTANAS) yang berisi
tentang informasi bidang tanah berupa penguasaan, pemilikan ,
penggunaan dan pemanfaatan tnah (P4T)
dengan melibatkan partisipasi masyarakat, sekaligus menyadarkan akan catur tertib
pertanahan yaitu Tertib administrasi pertanahan, Tertib hukum pertanahan,
Tertib penggunaan tanah dan Tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan
hidup. Juga melaksanakan
inventarisasi tanah adat dan wilayah tanah ulayat, apakah masih ada
lembaganya, apakah masih ada aturannya baik tertulis maupun lisan dan
apakah masih dipatuhi oleh masyarakat adatnya, sebagai bahan referensi
penyusunan Rancangan Undang-Undang Pertanahan berdasarkan Hukum Adat
melalui Kelompok Swadaya Mayarakat Manajem Pertanahan Berbasis Masyarakat
(KSM MPBM). KSM MPBM dipilih melalui Rembug Desa, 4 Pemuda Desa sebagai
tim pengumpul dan pengelola data bidang tanah P4T, 5 Tokoh Masyarakat Desa
yang menguasai riwayat tanah desa sebagai tim verifikasi data dan mediasi
pertanahan. MPBM adalah pengelolaan administrasi pertanahan dalam satu
unit masyarakat desa/kelurahan, merupakan upaya revitalisasi otonomi desa
(sistem Pemerintahan Adat) dengan pendekatan partisipatif dan swadaya
(self-governing community) dalam rangka mewujudkan masyarakat makmur
mandiri dan alam lestari dengan menerapkan catur tertib pertanahan dalam
kerangka NKRI.
- Melaksanakan UUPA secara konsekwen dengan men
“judicial review” peraturan perundangan dan lembaga yang masih
melaksanakan Domein Verklaring dan Agrarich Wet.
- Melaksanakan Land reform yang ditindak lanjuti
akses reform, khususnya tanah pertanian sebagai modal ekonomi bagi Rakyat
Petani Miskin pemilik NKRI dan memperkuat perekonomian nasional negara
agraris. Demikian juga terhadap Nelayan dan warga Maritim, selain memberi
tanah untuk tempat tinggal juga diberikan akses reform berupa sarana dan
prasarana sebagai alat ekonominya untuk meningkatkan kesejahteraannya dan
kedaulatannya. Petani penerima tanah obyek land reform diberikan hak
sementara (non permanen) dilarang mengalihkan dan hanya boleh diwariskan
kepada anaknya berprofesi petani dengan sepengetahuan Panitia Land Reform
Desa setempat, demikian juga perlakuannya sama terhadap para Nelayan dan
warga Maritim tersebut.
- Menyusun dan mengesahkan UU Pertanahan Nasional
berdasarkan hukum adat sebagai tindak lanjut perintah UUPA. Hak atas
tanah berdasarkan hukum adat hanya
dua yaitu hak tetap (permanen) dan hak sementara (non permanen), semuanya
diatas Hak Milik Bangsa indonesia yang bersifat ABADI. Tanah sebagai jaminan pinjaman di bank
hanya sepanjang waktu hak yang diberikan, namun apabila diterlantarkan haknya
hapus dan kembali menjadi tanah
milik bangsa indonesia yang dikuasai negara, maka yang bisa dijaminkan
pada bank itu hanya kegiatan usahanya diatas tanah, hal tersebut juga sebagai pembatasan gerak spekulan tanah
dan pembobolan dana bank. Pembebasan tanah untuk kepentingan sosial dan
infrastruktur lebih mudah karena ada data base bidang tanah maka harga
tanah dapat di “freezing”, tidak masuk angin oleh para spekulan tanah,
serta ada kesadaran bahwa tanah NKRI adalah milik semua Warga Negara
Indonesia sehingga menumbuhkan rasa nasionalisme kebangsaan dan rasa
sosial lebih peka dimasyarakat serta ihklas melepaskan hak atas tanahnya
bagi kepentingan umum. Undang-Undang ini juga melindungi rakyat kecil yang
berkaitan dengan tanah dari ketidakadilan berupa bentuk bagi hasil antara
lain kerja sama opersional, built operation and transfer dan lain
sebagainya maupun kegiatan konsolidasi tanah, land reajustmen dan land
urban renewel.
- Untuk menegakkan keadilan dalam pertanahan harus
dibentuk Pengadilan Khusus Keagrarian/Pertanahan dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Pertanahan, bukan lagi di Pengadilan Umum yang menganut Hukum
Perdata Indonesia.
- Mengoptimalkan fungsi dan peranan hasil
administrasi dan hukum pertanahan, yaitu sertipikat tanah sebagai sarana
kontrol kepemilikan tanah dan tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan
tanah dan lingkungan hidup.
- Menyusun Land Use Planning Nasional, Propinsi,
Kabupaten/Kota dan Rencana Teknis Tata Guna Tanah yang berdasarkan data
base bidang tanah. Dengan simtanas bidang tanah dapat diketahui Present
Land Use, Land Capability (Wilayah Tanah Usaha) sehingga dapat dibuat
Neraca Penggunaan Tanah yang memudahkan pembuatan Land Use Planning pada
skala Pemerintahan sampai yang terbawah yaitu Desa/Kelurahan. Semua stake
holder pertanahan harus tahu akan hak dan kewajibannya karena tertulis
dalam sertipikat tanah dan sebagai sosial kontrol pengawasannya dibantu
oleh KSM MPBM di desa/kelurahan yang bersangkutan dalam rangka pembangunan
berkelanjutan. Pemerintah Pusat membuat Norma, Standart dan Kriteria
Penyusunan Tata Guna Tanah, Pemerintah Daerah membuat Rencana Tata Guna
Tanah sedangkan masyarakat di desa mengawasi pelaksanaannya.
- Pemberian Hak Permanen pada tanah Keraton
Ngayogjakarta dan Pakualaman serta untuk keraton-keraton lainnya hanya di
lokasi keraton yang bersangkutan saja, tidak terhadap tanah yang di luar
kraton (karena tanah diluar kraton sebagai tanah swapraja dan atau tanah
eks swapraja telah dinyatakan oleh UU menjadi tanah negara yaitu tanah
milik bangsa indonesia yang dikuasai negara dan dijadikan obyek tanah land reform yang
dibagikan pada petani penggarapnya). Demikian juga dengan Tanah Ulayat
Masyarakat Adat yang masih eksis keberadaannya dilapangan sebagai mana
hasil pendataan masyarakat melalui KSM MPBM.
- Agar tanah NKRI bisa dipergunakan oleh bangsa
Indonesia sepanjang masa maka
urusan administrasi pengelolaan pertanahan yang
meliputi penguasaan dan pemilikan tanah (land tenure), penggunaan tanah
(land use), nilai tanah (land value) dan pengembangannya (land
development) harus dalam satu manajemen (lembaga). Kebijakan
pertanahan (land policy) untuk pembangunan berkelanjutan dapat disusun
apabila ada simtanas bidang tanah diseluruh NKRI sampai pada tingkat
pemerintahan terbawah (desa/kelurahan) telah terbangun, dapat dengan mudah
terbangun apabila dengan partisipasi masyarakat secara gotong royong
melalui KSM MPBM.
- BPN RI ( Lembaga Pemerintahan Non Kementrian)
sebagai koordinator pengelola lokasi kegiatan dalam mensupport jalannya
pembangunan , kedudukannya harus sejajar dengan Bappenas sebagai
koordinator kegiatan/proyek dan Kementerian Keuangan sebagai penyedia
anggaran dalam pembahasan RAPBN, demikian juga tingkat pemerintahan daerah
dalam pembahasan RAPBD.
- BPN RI harus dipimpin oleh seorang karier di
BPN ataupun mantan BPN yang
berpengalaman mempunyai jam terbang tinggi dan pernah menjabat di
kebijakan, operasional, pengawasan, riset dan pengembangan , berintegritas
tinggi, jujur dan mempunyai jiwa nasionalisme yang teruji. Hindari
pimpinan BPN selama ini selalu bukan dari pejabat karier sehingga arah
pembangunannya tidak jelas, tidak pernah ada pembinaan korps dan selalu
ada kepentingan pribadi maupun kelompok dalam penempatannya sebagai Ka BPN
RI.
- Merevitalisasi kembali Tupoksi BPN RI sebagaimana
pada UUPA yaitu menegakkan keadilan dari penghisapan manusia atas manusia
yang berkaitan dengan tanah, sebagai rasa mensyukuri karunia Tuhan YME
oleh Bangsa Indonesia sebagai pemilik tanah yang bersifat ABADI.
- KSM MPBM dibekali dengan 4 buku yaitu Buku A
berisi riwayat kepemilikan tanah, Buku B berisi hasil pemetaan bidang
tanah yang sudah diverifikasi dan disetujui para pemilik tanah (stake
holder) yang merupakan kontra diktur delimitasi relatif (belum tetap
karena belum diukur secara kadastral), Buku C berisi mutasi tanah dan
masalah pertanahan baik kepemilikan maupun penggunaan tanahnya, Buku D berisi
Rencana Tata Ruang, Tata Guna Tanah, Tata Bangunan dan Tata Guna Air. Buku
ABCD tersebut akan ditutup buku setiap akhir tahun atau pada saat adanya
pergantian pejabat Kepala Desa/Kelurahan yang diketahui Pejabat BPN
Kabupaten/Kota setempat. Data MPBM dapat dijadikan bahan aspirasi
masyarakat pada Musyawarah Nasional Perencanaan Pembangunan Tingkat
Kecamatan, demikian seterusnya sampai ke tingkat Pusat di Jakarta.
- KSM MPBM dapat diberdayakan sebagai Panitia
Landreform Desa setempat dalam pelaksanaan Reforma Agraria dan bahkan bisa
dijadikan embrio pembentukan Koperasi Primer (Koperasi Budaya, bukan
sekedar ekonomi) di Desa, demikian selanjutnya di kecamatan menjadi
Koperasi Sekunder, di kabupaten/kota menjadi Koperasi Tersier dan
seterusnya sampai ke pusat menjadi Koperasi Budaya Nasional. Pada
tingkatan Koperasi Tersier akan didapatkan tokoh masyarakat dari kecamatan
yang bisa menjadi anggota legeslatif berkwalitas dan seorang pemimpin
untuk memimpin kabupaten/kota yang besangkutan dengan cara musyawarah
mufakat sebagaimana implementasi sila ke 4, Kerakyatan yang dipimpin dalam
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan sila ke 5,
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan
Demokrasi Pancasila, akar jati diri bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, yaitu kasih sayang, gotong royong, tolong menolong dan
kekeluargaan. Bukan Demokrasi Barat dengan Pemilu dan Pilkada yang
mendasarkan persaingan, individualistis, mencari kekuasaan dan uang untuk
melanggengkan kekuasaannya dan seterusnya.
- Kesemua hal tersebut sebagai aplikasi dari
keempat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI,
Bhineka Tunggal Ikha dalam kaitannya dengan Demokrasi Pancasila serta
tanah sebagai wahana kiprahnya rakyat dan pemerintah dalam NKRI.
- Bagaimana peran Partai Politik, seharusnya dalam
rangka Nation and Character Building mempersiapkan Sumber Daya Manusia
dengan pelatihan-pelatihan penyadaran ideologi kebangsaan maupun
ketrampilan individu dalam menghadapi tantangan global, sebagaimana yang
telah dirintis Yayasan Obor Tani Semarang membangun Sentra Pemberdayaan
Tani Tanaman Buah Unggul pada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar