Sabtu, 20 Desember 2014

Naturalisasi Ilmu

Naturalisasi  Ilmu

“Namun, aku tak boleh mempunyai ide tengtang satu subtansi yang terbatas, dengan melihat bahwa aku adalah  sesuatu yang terbatas. Kecuali ide itu diberikan kepadaku oleh satu subtansi yang benar- benar tidak terbatas.

RENE DESCARTES (Mediations)

Konsep Naturalisasi  ilmu, acapkali menjadi pembahasan tengtang asal-muasal dan sebab-musabab ilmu yang dipakai di tanah air tercinta ini. Apakah benar semua ilmu yang kita konsumsi sehari-hari dibangku sekolah adalah proses naturalisasi ? Batasan sederhana mengenai naturalisasi ini adalah Mempribumikan. Begitu plural ilmu yang kita telan dan telaah pasti akan berdampak pada perubahan sosial: seprti asimilasi dan akulturasi. Tapi dalam tulisanku ini tidak akan cerita panjang lebar mengenai koeksistensian naturalisasi ilmu di bunda pertiwi Indonesia. Akan tetapi kajiannya lebih condong ke hal-hal yang sifatnya umum atau universal. Misalnya, ketika filosof-filosof muslim ataupun cendekiawan muslim yang mengadakan pengkeluargaan terhadap corak pemikiran yunani yang identik dengan kerja rasionalistis.

Secara kontemporer, bangunan ilmu pengetahuan dan filsafat yunani juga menglami change to orientation dan penekanan pada sebuah priode yang dikenal dengan zaman Hellenistik- yang merentang dari masa pasca- Aristotelian sampai hancurnya kekuasaan Cleoptra dari Mesir apda 150 SM. Terjadi pula segmentasi dan konfigurasi priodekal ilmu yunani, Misalnya corak ilmu pada zaman Helllenistik yang khas, lebih menekankan pada spesialisasi dari pada generalisasi, seperti kecendrungan pada masa Aristoteles, Lebih mementingkan Individu dari pada kelompok dan menekankan morality untuk utilitarian (kemanfaatan) dan kebahagiaan. Perubahan-perubahan tersebut terjadi karena tekanan struktur ekonomi dan politik, serta tidak adanya jaminan keselamatan dan keamanan pada saat itu. Lain halnya pula, Kekaisaran Romawi mengalahkn kekuatan  Yunani pasca-Alexasanderian, ilmu-ilmu budaya Yunani berkembang sampai kekuasaan teritorial Romawi yang disebut kristensasi ilmu. 

Prof.Sabra mengemukakan tiga tahap naturalisasi yang kadang disebut isalamisasi ilmu yanani. 

Pada tahap pertama: 

Kita mnyaksikan perolehan ilmu dan filsafat kuno, khususnya yunani, melalui penerjemahan karya-karya  dari bahasa yunani dan suriah ke dalam bahasa Arab. Ilmu Yunani memasuki dunia Islam, bukan sebagai kekuatan imperium melainkan buah yang dipetik bukan pada pohonnya atau tamu yang tak diundang. 

Tahap kedua: 

Kewaspadaan dan pengambilan jarak inilah yang membuat tumbuh mekarnya keluasan ruas-ruas rasa ingin tahu yang memuncak dan eksperimentasi intelektual. 

Fase ketiga: 

Kita menemukan asimilasi penelitian Filosopis, dalam tapal batas koridor dan preskripsi Agama. Praktik Falsafah ditemukan dalam berbagai tulisan Al.Farabi dan Ibnu Sina dan pemikir-pemikir membumi muslim yang lainnya. Ciri-ciri Hasil pemikiran Filosofis itu ditandai dengan kentemplasi subjektif dan praduga-praduga terhadap suatu eksistensi realitas.

Naturalisasi atau dalam hal ini adalah Islamisasi ilmu-ilmu yunani (episentrum:logos-Yunani) Dapat mengambil bentuk yang bermacam-macam: Justifikasi, Adaptasi, dan kritik.

Yang prtama: Justifikasi.

Justifikasi yang dimaksud disini merupakan upaya yang dilakukan seorang filosof untuk membenarkan pengadopsian filasafat Yunani dalam berabagai alasan. Mislnya: Ilmu yunani merupakan Lumbung dan sumber tradisi kenabian yang sama dengan Islam. Bahwa tokoh Hermes, yang sangat prestisius bagi Aristoteles yang tak lain adalah nabi Idris sebagai nabi ketiga setelah Adam, Syits, putra nabi Adam dan hawa yang dalam tradisi yahudi disebut Enoch. 

Bentuk kedua: Adaptasi.

Tradisi Ilmu yunani dalam dunia Islam adalah sikap selektif dari para pemikir yang begitu cermat dalam mengadaptasi konstelasi-konstelasi ilmu agar tidak berakibat diametris/asimetris dengan nilai dan ideologi-kepercayaan saat itu. Argumen ilmu yunani yang mengasumsikan tengtang eksistensi dan ke-Esaan tuhan. Itu adalah perihal yang satu arah menuju sebuah kebenaran. Tak ayal bahwa konsepsi Tauhid dan monoteisme adalah suksesi pemikiran simetris dalam tradisi keilmuan pada zaman itu.

Dan yang ketiga: Kritik

Naturalisasi ilmu yang dilakukkan tak pernah terlepas dari kritik terhadap ajaran-ajaran ilmiah yang menantang filosof yunani. Dalam rangka adaptasi keilmuan, harus ada kritik yang realistis yang menjadi hal urgent untuk menghindar dari kerancuan-kerancuan dalam berpikir (materi:kerangka berpikir ilmiah).  Seperti: argumen Kosmologis Aistoteles, Tuhan adalah penggerak yang tak bergerak. Yang dikritik oleh Ibnu Sina: Mengatakan:”Kenyataan bahwa mereka menjadikan prinsip pertama (prima causa), sebagai perinsip gerak dari benda-benda angkasa tidak mesti berarti bahwa mereka juga bisa menjadikannya sebagi prinsip subtansi benda tersebut” Dan argumen alternatif adalah argumen ontologis yang dikorespondesikan tidak hanya membuktikan eksistensi Tuhan, tapi lebih proposionalnya untuk menggambarkan Tuhan yang lebih subtansif untuk ketauhidan dari pada prima causa itu.

Dalam argumen alternatifnya Ibnu Sina  alih-alih menyebut Tuhan sebagai penggerak, dan menyebutnya sebagai Wujud yang Niscaya(Wajib al-Wujud). Wujud yang niscaya ini, adalah sangat dibutuhkan bagi terbentuknya alam secara aktualitas, alam fisik yang potensial dan tidak mungkin muncul secara tiba-tiba/kebetulan.(argumen:Teori Evolusi).

Demikanlah tiga bentuk naturalisasi yang menjadi aktivitas para pemikir (muslim). Kesemuanya itu merupakan warisan ilmiah dan filosofis yunani bukti merepresentasikan proses naturalisasi ilmu yang terjadi dalam dunia islam. Perlu pula menjadi pijakan langkah kita dalam dunia keilmuan bahwa tidak mungkin ilmu bekembang dengan begitu pesat tanpa adanya pengaruh dari tradisi keilmuan, nilai-nilai budaya, agama, dan bahkan situasi politik ekonomi.

Saya yakin dan percaya bahwa selama manusia masih dalam proses berpikir secara ilmiah, yang namannya proses Naturalisasi ilmu misalnya: tidak akan hilang dan akan terus berkembang dalam peradaban dunia keilmuan, sampai dihancurkannya  semua yang ada di bumi secara nyata.

Febri Ramadhani
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar
                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar