Ditulis Sabtu
07/02/2015
HUKUM dan KEADILAN
Dalam
berbagai kajian hukum yang ada dalam kalangan masyarakat, ada yang mengatakan
bahwa hukum itu tujuan utamanya adalah keadilan. Ada pula yang mengatakan
tujuan utamanya hukum bukan keadilan, akan tetapi kepastian hukum. Dalam kajian
filsafat hukum misalnya, hukum itu terdiri atas tiga tujuan. Yaitu: keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan. Ketiga hal inilah yang memperindah teori-teori
dalam mempelajari ilmu hukum di bangku kuliah maupun di kalangan akademisi
lainnya. Dari masa ke masa, bahkan kalau kita mempelajari sejarah hukum, tujuan
hukum itu sangatlah beragam. Tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang tujuan hukum
diinterpretasikan berdasarkan latar belakang keilmuan masing-masing ahli.
Misalnya ahli ekonomi mengatakan, tujuan hukum itu untuk mengatasi permasalahan
ekonomi dan menjaga stabilitas ekonomi. Ahli hukum mengatakan, tujuan hukum itu
melaksanakan undang-undang dan mencapai keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan. Dan masih banyak lagi pendapat tujuan hukum itu sendiri.
Tergantung siapa yang mendefenisikannya.
Absurditas
keadilan
Keadilan
memang seringkali menjadi topik pembicaraan hangat dalam menanggapi kasus-kasus
hukum. Opini-opini yang berkembang dalam masyarakat cenderung dibenturkan dengan
konsep keadilan. Misalnya saja, ketika
ada putusan perkara pidana terkait dengan kasus korupsi, tersangka diberi atau
dijatuhkan hukuman yang sangat ringan.
Sehingga persepsi masyarakat, perbuatan yang dilakukan tersangka tidaklah
sesuai dengan hukuman yang dijatuhkan.
Di sinilah opini hukum (legal
opinion) muncul dan berkembang, bahwa telah terjadi kesenjangan antara harapan
dan kenyataan. Lahirlah yang namanya ketidakadilan dalam hukum.
Akan
tetapi pertanyaannya kemudian, seperti itukah memaknai keadilan ? atau bahkan
keadilan sangat absurd untuk termaknai ?. Berbagai defenisi keadilan
seperti, keadilan harus sama dalam artian tidak boleh berbeda. Keadilan artinya
menempatkan sesuatu pada tempatnya (proportional).
Keadilan harus berimbang. Dalam artian keadilan tidak mesti sama. Ada juga
adagium hukum yang mengatakan summum ius
summa in iuria (keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi). Keadilan
apabila tidak ada lagi orang protes dan menentang. Keadilan tergantung siapa
yang merasakannya. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Dari banyaknya defenisi tengtang keadilan, menjadikan keadilan itu sendiri menjadi absurd. Absurditas keadilan dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari misalnya, seorang anak yang mencuri nasi bungkus di warung dan ditangkap. Namun setelah ditanya alasannya mencuri kenapa ? jawabannya karena anak tersebut lapar lantas belum makan selama dua hari. Menurut hukum perbuatan anak adalah pencurian. Maka harus diganjar dengan pasal-pasal pencurian pula. Jadi apakah pantas menyeret anak tersebut ke pengadilan ? dan adilkah anak tersebut dijatuhi hukuman ?
Dari banyaknya defenisi tengtang keadilan, menjadikan keadilan itu sendiri menjadi absurd. Absurditas keadilan dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari misalnya, seorang anak yang mencuri nasi bungkus di warung dan ditangkap. Namun setelah ditanya alasannya mencuri kenapa ? jawabannya karena anak tersebut lapar lantas belum makan selama dua hari. Menurut hukum perbuatan anak adalah pencurian. Maka harus diganjar dengan pasal-pasal pencurian pula. Jadi apakah pantas menyeret anak tersebut ke pengadilan ? dan adilkah anak tersebut dijatuhi hukuman ?
Pembunuh
keadilan
Terlalu
banyak jeritan yang terdengar tengtang bagaimana sulitnya keadilan untuk
didapatkan. Ada sebuah image yang
mengakar-urat dalam perspektif sosiologi hukum di Indonesia. Hukum Indonesia
itu layaknya pisau, tajam di bawah dan tumpul ke atas. Artinya apa, penegakan
hukum masih kurang masksimal. Masih adanya diskriminasi dalam penegakan hukum.
Orang kaya dan pemangku jabatan cenderung dilihat sebagai orang yang kebal
hukum. Sedangkan orang yang miskin dan tak berpunya atau proletar cenderung
sasaran empuk penegak hukum. Banyak sekali peristiwa-peristiwa hukum yang
sangat mencengangkan. Sehingga membuat kita sejenak berpikir, apakah hukum dan
keadilan itu dapat dibeli ? karena orang yang berduit melakukan pelanggaran
hukum seolah-olah kebal hukum. Sedangkan orang miskin tidak kenal ampun.
Langsung divonis saja.
Secara
teoretis, hukum dan keadilan itu tidak dapat dipisahkan, tapi secara praktisnya
keduanya lantas berpisah. Seringkali keadilan yang dicari para justisiabelen (pencari keadilan) hilang
entah ke mana. Sehingga justisiabelen
menjadi adventure into the unknow (mengembara dalam ketidaktahuan).
Apakah
keadilan dapat dibunuh ? atau keadilan dapat di matikan ? saya katakan ya,
bisa. Banyak orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum, seperti korupsi. Itu
telah membunuh keadilan. Jual beli perkara dalam proses pengadilan, sehingga
menguntungkan satu pihak, yakni pihak yang memberikan uang. Banyak sekali
pembunuh keadilan dalam perspektif hukum. Tapi yang paling berperan aktif adalah
penegak hukum itu sendiri. Penegak hukum yang melanggar hukum.
Febri Ramadhani
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar
"KEADILAN"
BalasHapus