Pengantar Hukum Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah
Manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan YME dan sebagai wakil Tuhan di bumi yang menerima amanat-Nya untuk
mengelola kekayaan alam. Sebagai hamba Tuhan yang mempunyai kewajiban untuk
beribadah dan menyembah Tuhan Sang Pencipta dengan tulus
Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini
adalah untuk menambah pengetahuan dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua.
Metode Penulisan
Penulis mempergunakan metode observasi dan
kepustakaan.
Cara-cara yang digunakan pada penelitian ini adalah :
Studi Pustaka
Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan denga penulisan makalah ini.
Cara-cara yang digunakan pada penelitian ini adalah :
Studi Pustaka
Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan denga penulisan makalah ini.
Apakah yang dimaksud hukum perdata itu ?
Hukum
Perdata disebut juga hukum sipil adalah
hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan orang lain, dimana
hubungan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.
Contoh : - Sewa menyewa;
-
Jual beli,
gadai;
-
Warisan;
-
dan lain-lain.
Jadi untuk jelasnya : Hukum Perdata
ialah mengatur hubungan perseorangan sehingga berbeda dengan Hukum Pidana yang
mengatur hubungan hukum antara seorang individu dan masyarakat dan seorang
dengan Negara, maka hukum perdata tidak menyangkut kepentingan umum, melainkan
mengatur kepentingan pihak tertentu saja..
Hukum Perdata bersumber dari Kitab
Undang-undang Hukum Sipil (KUHS). KUHS dipakai Pancis sebagian besar, namun
Belanda juga ikut KUHS karena orang Prancis ada juga yang tinggal di Belanda.
Hukum
Perdata terdiri dari :
a.
Hukum Perdata Adat adalah hukum
yang mengatur antar individu dengan masyarakat adat, berkaitan dengan
kepentingan-kepentingan perseorangan
b.
Hukum Perdata Eropa adalah hukum
yang tugasnya mengatur hubungan hukum yang menyangkut kepentingan orang-orang
Eropa dan orang-orang yang diberlakukan ketentuan hukum itu.
c.
Hukum Perdata Bersifat Nasional adalah hukum
yang mengatur kepentingan perorangan yang dibuat/diberlakukan untuk seluruh
penghuni Indonesia.
Adapun asas-asas yang terdapat pada hukum perdata :
1.
Asas
kebebasan para pihak;
2.
Asas
kebebasan kesepakatan;
3.
Asas
persamaan kedudukan;
4. Asas kecakapan bertindak dalam hokum
Hukum
perdata dibagi dalam hukum perdata materil
dan hukum perdata formil.
Hukum perdata formil mengatur
kepentingan-kepentingan perdata. Hukum pedata materil mengatur
kepentingan-kepentingan perdata atau dengan perdata lain : cara mempertahankan
peraturan-peraturan hukum perdata materil dengan pertolongan hakim.
Apa saja yang ruang lingkup ke dalam pengertian Hukum
Perdata ?
Yang tdrmasuk ke dalam ruang lingkup Hukum Perdata
antara lain :
-
Hukum
Perorangan atau Pribadi (hak dan kewajiban);
-
Hukum
Keluarga atau Perkawinan (hubungan lahir batin antara dua orang berlainan
jenis);
-
Hukum
Kekayaan (mempunyai nilai uang);
-
Hukum Warih
atau Hibah (cara pemindahan hak milik seseorang yang meninggal dunia).
Keempat
hukum perdata termasuk dalam hukum perdata materil. Hukum perdata materil
disebut juga hukum sipil (burgelijk
recht). Dahulu nama itu ialah nama yang biasa dan dalam perundang-undangan,
istilah hukum sipil di sana-sini
masih terdapat dalam arti tersebut.
Demikian dalam pasal 9 Undang-undang
A.B : Hukum Sipil Kerajaan adalah sama untuk orang-orang asing maupun
orang-orang Belanda, sepanjang undang-undang tidak menentukan sebaliknya. Lihat
juga pasal 160 Undang-undang Dasar dan pasal 2 Undang-undang RO. Tetapi kini
hukum sipil dipakai dalam arti sempit : untuk hukum perdata materil tanpa hukum
dagang atau dengan kata lain untuk menyatakan bahan hukum yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Sipil dan Undang-undang yang berlainan dengan itu. Demikian
dalam pasal 157, Undang-undang Dasar : hukum sipil dan hukum dagang, hukum
pidana sipil dan militer, hukum acara dan susunan kekuasaan kehakiman diatur
dengan Undang-undang dalam kitab undang-undang umum, kecuali hak dari kekuasaan pembentuk undang-undang
untuk mengatur beberapa perkara dalam undang-undang tersendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan
campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian
besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia
yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyaj terutama
di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat
dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Hukum perdata Indonesia
Salah satu bidang hukum yang
mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara
subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai
lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata
negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha
negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara
penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang,
perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan
tindakan-
tindakan yang bersifat perdata lainnya. Ada beberapa
sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga
mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu
sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran
atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat),
sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan
sistem-sistem hukum lainnya.
Hukum perdata di Indonesia
didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada
masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.)
yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari
Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan
diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas
konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW
diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum
perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab
undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian,
yaitu:
Ø Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum
perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai
timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan,
keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian
perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku
dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Ø Buku II tentang Kebendaan; mengatur
tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki
subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris
dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang
tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii)
benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap
sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya
hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian
ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU
nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan
dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU
tentang hak tanggungan.
Ø Buku III tentang Perikatan; mengatur
tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah
ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda)), yaitu hukum yang mengatur
tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain
tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan)
undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat
dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan,
Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD
berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah
bagian khusus dari KUHPer.
Ø Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur
hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam
mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan
pembuktian. Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh
para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.
Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari
hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum
Romawi Corpus Juris Civilisya yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang
paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua
kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum
dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu
diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun
sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).
Pada Tahun 1814 Belanda mulai
menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda,
berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP
KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia [1824] sebelum menyelesaikan
tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan
Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880
dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober
1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
1. Burgerlijk
Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.
2. Wetboek
van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang]
Kodifikasi
ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code
Civil hasil
jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
KUH Perdata
Yang dimaksud dengan Hukum perdata
Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia.
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda]
yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya
berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat
dengan B.W.
Sebagian materi B.W. sudah dicabut
berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU
Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan. Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J.
Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr.
A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing- masing sebagai anggota yang kemudian
anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi
KUHPdt.
Indonesia diumumkan pada tanggal 30
April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948. Setelah
Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt.
Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang
baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga
Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata
Indonesia.
Hukum acara perdata Indonesia
Hukum acara perdata Indonesia adalah
hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan)
dalam lingkup hukum perdata.
Istilah hokum
Advokat
Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.
Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.
Advokat dan pengacara
Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun
ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18
tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai
dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan lainnya.
Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang
yang beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor
secara bersama-sama atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai
penegak hukum plat hitam di pengadilan. Sementara advokat dapat bergerak dalam
pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana
maupun perdata.
Sejak diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003, maka
istilah-istilah tersebut istandarisasi menjadi advokat saja.
Dahulu yang membedakan keduanya yaitu Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber"acara" di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk "beracara" di seluruh wilayah Republik Indonesia sedangkan Pengacara Praktek adalah seseorang yang memegang izin praktek / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah "hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktek tersebut. Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.
Konsultan hokum
Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at
law atau legal consultant adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan
jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara
masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku, semua
istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang
berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi
advokat.
Jaksa dan polisi
Dua institusi publik yang berperan aktif dalam
menegakkan hukum publik di Indonesia adalah kejaksaan dan kepolisian.
Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki, menyidik suatu
tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya. Apabila ditemukan
unsur-unsur tindak pidana, baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka pelaku
(tersangka) akan diminta keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa
penahanan, tersangka akan diminta keterangannya mengenai tindak pidana yang
diduga terjadi. Selain tersangka, maka polisi juga memeriksa saksi-saksi dan
alat bukti yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang disangkakan.
Keterangan tersebut terhimpun dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang apabila
dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke kejaksaan untuk dipersiapkan
masa persidangannya di pengadilan. Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan
BAP dan analisa bukti-bukti serta saksi untuk diajukan ke pengadilan. Apabila
kejaksaan berpendapat bahwa bukti atau saksi kurang mendukung, maka kejaksaan
akan mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian, untuk dilengkapi. Setelah
lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara. Pada tahap
ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa, yang akan
disidang dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan, maka status
terdakwa berubah menjadi terpidana.
Contoh
perkara hukum perdata
Status Perkawinan
Internasional dan Perjanjian Perkawinan
Seorang WNI menikah
dengan warga negara Prancis di Jepang. Mereka beragama Kristen Katolik, tetapi
tidak melangsungkan perkawinan menurut hukum agama (pernikahan di gereja).
Perkawinan ini telah didaftarkan di kedutaan besar masing-masing di Jepang.
Mereka masih akan berdomisili di Jepang minimal satu hingga tahun mendatang.
Setelahnya, mereka belum memutuskan, tetapi mereka sepakat anak di kemudian hari akan dilahirkan
dan dibesarkan di Prancis[1][1].
Analisis
Sejak diberlakukannya UU
1/1974, perkawinan beda agama dilarang, tapi perkawinan antar-warga negara
Indonesia dengan warga negara asing selama memenuhi syarat-syarat hukum
Indonesia boleh dilakukan berdasarkan Pasal 57-62 UU 1/1974.
Perkawinan WNI yang dilangsungkan
di luar negeri berlaku Pasal 56 UU 1/1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan
WNI di luar negeri berlaku asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti
perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum negara di mana perkawinan
dilangsungkan, dalam kasus ini hukum Jepang. Hukum Perkawinan Jepang, lewat Horei
Law hanya mengatur perkawinan secara perdata dan menjunjung tinggi pilihan
hukum yang dilakukan para pihak. Sehingga perkawinan anda secara formal telah
sah.
Tapi pelaksanaan Pasal
56 harus didahului pelaksanaan Pasal 60 UU 1/1974 yang menyatakan setiap WNI
yang hendak menikah harus memenuhi persyaratan materiil dan konsepsi perkawinan
yang ditentukan UU 1/1974.
Setelah sah berdasarkan
hukum agama barulah muncul keharusan untuk mencatatkan perkawinan ke kantor
catatan sipil. Kedutaan besar bukanlah kantor catatan sipil. Tapi catatan sipil
yang harus didatangi adalah Catatan Sipil Jepang, bukan Catatan Sipil
Indonesia. Akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil Jepang berlaku universal,
tapi agar dapat memiliki akibat hukum di Indonesia, perkawinannya harus
didaftarkan ke buku pendaftaran di Perwakilan RI dan dilaporkan ke Catatan
Sipil Indonesia, yaitu di wilayah asal WNI tersebut (misalnya: Kantor Catatan
Sipil Jakarta Barat, Bogor, atau Bekasi).
Pelaporan perkawinan
biasanya dilakukan dalam jangka setahun setelah pasangan kembali ke Indonesia
ke daerah asal WNI. Untuk melaporkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil
Jakarta menurut Pasal 72 Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2005 diperlukan
dokumen-dokumen bukti pengesahan perkawinan di luar Indonesia, kutipan akta
kelahiran, kartu keluarga dan kartu tanda penduduk, kutipan akta perceraian
atau kutipan akta kematian suami/istri bagi mereka yang pernah kawin, paspor
kedua mempelai, dan pas foto berdampingan ukuran 4x6 cm empat lembar.
Terhadap anak, pelaporan
perkawinan juga diperlukan sehingga status dwi kewarganegaraannya diketahui.
Lalu dengan diketahuinya status dwikewarganegaraan, seorang anak nanti dapat
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan WNI lainnya seperti memiliki tanah.
Jika status WNI-nya tidak diketahui, ia nantinya akan kesulitan untuk menerima
warisan atau melakukan perbuatan hukum apa pun yang menyangkut tanah atau apa
pun yang dibatasi untuk orang asing.
Pasal 1395 Code Civil
Prancis kurang lebih juga menyatakan perjanjian kawin hanya boleh dilakukan
sebelum perkawinan terjadi. Selain itu, secara umum, Code Civil Prancis
mengatur perjanjian kawin sebagai hukum yang berlaku atas harta perkawinan,
bukan atas hukum atau cara mendidik anak.
Secara internasional,
Prancis juga tunduk pada the Hague Convention on the Law Applicable to
Matrimonial Property Regimes. Pasal 3 Konvensi di atas juga dengan tegas
menyatakan perjanjian perkawinan harus dilaksanakan sebelum perkawinan
berlangsung. Jika tidak dibuat sebelum menikah maka atas harta kekayaan
mempelai setelah kawin harus diatur mengikuti tempat tinggal tetap mempelai
setelah menikah atau hukum negara yang paling banyak terkait.
A. Analisa
Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut
teori Hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan
antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai
persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak
memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah,
sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui
bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law
berpegang pada prinsip domisili (ius soli)
sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai
ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias)
pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan
demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang
istri dan hak-hak maritalnya.
Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang
terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani,
Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.
Dalam
sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada
sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua
anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua
terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama.[2][2] Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU
Kewarganegaraan yang lama yaitu UU No.62 tahun 1958.
Kecondongan
pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu
kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah,
lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu
untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan,
terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
B.
Analisa Menurut Undang-undang nomor 12 tahun 2006
tentang kewarganegaraan
Undang-Undang
kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal.
Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
1.
Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2.
Asas ius soli (law
of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi
anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang
menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4.
Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang
tersebut pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun
tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada
anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai
hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu
(apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara
otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
Berdasarkan
UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA,
maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI,
sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan
terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran.
Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan
permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda
berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia
memiliki sistem Hukum Perdata
Internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal
indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16
A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil
Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk
status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar
negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya ,
tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia,
sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam
wilayah Republik indonesia
19
dipergunakan
juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status
personal mereka. Dalam yurisprudensi indonesia yang termasuk status personal
antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang
hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status
anak-anak yang dibawah umur.
Bila
dikaji dari segi Hukum Perdata
Internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah,
misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas
nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara
nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain
tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada
pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan
status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana
bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara
yang lain.
Sebagai
contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat
materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia
18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil
harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat
perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya
sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum
Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan
hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan,
lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Hal
tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum
perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis
berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah
yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian
para ahli hukum perdata internasional.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian tersebut dapat
dirumuskan beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
Sebagai
makhluk sosial setiap manusia selalu mengadakan hubungan dengan manusia lain.
Hubungan ini terjadi sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia. Timbulnya
hubungan antara manusia secara kodrati, artinya makhluk hidup sebagai manusia
itu dikodratkan untuk selalu hidup bersama. Melaksanakan kodrat hidup sebagai
proses kehidupan manusia yang terjadi dilakukan sejak lahir sampai meninggal
dunia. Proses kodrati itu terjadi sejak manusia dikodratkan lahir terdiri dari
jenis kelamin pria dan wanita. Kedua jenis kelamin itu suatu waktu akan
membentuk suatu keluarga. Setiap manusia dikodratkan memiliki kekayaan yang
diperoleh selama hidupnya, selanjutnya akan diberikan kepada yang berhak untuk
melanjutkan kalau telah meninggal dunia. Proses kodrati ini akan di alami oleh
setiap manusia, kecuali ada hal-hal yang menghalanginhya, dan slalu berkaitan
dalam hubungan antar sesama. Hukum perdata mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pribadi sebagai ”subjek hukum”. Pribadi dalam subjek hukum
ialah orang dalam arti hukum. Artiinya memiliki hak dan kewajiban. Hak dan
kewajiban dimiliki oleh setiap orang secara kodratif sejak dilahirkan sampai
meninggal dunia. Bahkan, menurut hukum perdata Eropa yang dinyatakan dalam
pasal 2 KUH pardata menetapkan bahwa ”anak yang ada di dalam kandungan seorang
wanita dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan anak
menghendakinya.
Kematian sewaktu dilahirkannya dianggaplah tidak ada.
Menurut pasal 1330 KUH Perdata terdiri dari :
- Anak dibawah umur;
- Orang sakit ingatan dan keborosan;
- Wanita yang bersuami.
Terhadap orang-oorang ini,
kecuali ”wanita yang bersuami” yang telah dihapus oleh surat edaran Mahkamah
Agung No.3 tahun 1963, merupakan pengecualian dari setiap pribadi dalam
menggunakan haknya untuk melakukan tindakan hukum sendiri. Pengertian dewasa
menurut hukum adat pada umumnya tergantung kepada penilaian masyarakat adat
masing-masing. Hal ini sering kali dikaitkan dengan saat selesainya peralihan
masa anak akhir yang pada dirinya telah dinyatakan sebagai seorang yang dapat
mempunyai keturunan.
Febri Ramadhani
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar
17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar