Jumat, 02 Januari 2015

Iman: Rasio-Empirisisme

Konsepsi Mengenai Iman: Rasio-Empirisisme










Literasi: Theologis-Fhilosopies


Febri Ramadhani
Mahasiswa Hukum UIN Alauddin Makassar

“Konsepsi Mengenai Iman; Rasio- Empirisime”

_Andai kata kuda memiliki tangan dan Dapat menukis,
maka kuda akan melukis dewa-dewa seperti kuda.
XENOPHANES
( sekitar 560-478 SM)

Dalam beragama, apakah beriman dulu atau berilmu dulu ?
Atau berilmu dulu baru beriman ?
(Febri Ramaddhani)


Adalah Perdebatan sengit, diskursus mengenai Iman dan rasio. Kadangkala ada orang yang meramu konsep secara sepihak.Menilai manusia hanya dalam korelasi mengenai Rasio, begitu pula sebaliknya. Iman dan rasio merupakan disparitas yang mutlak. Iman relasinya adalah batiniah, sedangkan rasio adalh penalaran logis dan betuknya: silogisme(akal). Atau dasar-dasar kepercayan dalam beragama, kepercayaan itu yang bermain adalah rasio dan keyakinan itu adalah rasa (hati).

Dalam kajian filsafat semua yang ada di dunia ini adalah tajalli-tajali tuhan sebagai bukti eksistensinya. Jelasnya ada hukum kauliyah dan hukum kauniyah yang menelaskan Eksistensi Tuhan.Iman menggali hal-hal yang berada di luar indra. Dan indra selalu mengutarakan diri mengenai penalaran logis. Pemahaman iman Seringkali tidak dimengerti oleh Indra. Memahami sang prima Causa (argumen Aristoteles) haruslah dengan Iman  yang totalitas. Bukan malah Indra. Karena indra hanyalah memberikan alamat, sekaligus mengantarkan  di depan pintu sebab itu.

Pendiri empirisisme: John locke (filsuf) pernah mengatakan bahwa Agama tidak boleh bertengtangan dengan rasio. Tapi hal yang wajar kalau rasio Alamiah  menentang agama, karena akal adalah kemampuan yang terbatas ! Iman pada dasarnya mengantarkan kita menyingkap hal-hal yang transendental, tak tercakapkan dengan level tertinggi dari pada rasio.

Miasalnya: Tasawwuf dalam Islam (iman dan rasio),  Filasafat dalam Tradisi Barat mengutamakan rasio, sehingga banyak dari  kalangan mereka yang atheisme. Dengan proporsi dan postulat bahwa orang Barat mayoritas mengutamakan rasio dalam berbagai hal, dan itulah sebabnya kita bagi orang Timur sering menganggapnya sebagai sekuler dan liberal dalam berpikir.

Sebenarnya antara Iman dan rasio jika ditelisik  lebih dalam, dua makna esensial manusia yang tapi berbeda secara alamiah. Orang-orang yang beriman lebih tinggi derajatnya dari pada orang orang berakal semata. Akan tetapi kalau dilihat dari era sekarang banyak sekali orang yang berkostum iman melainkan pencitraan diri saja. Begitu banyak orang mengaku beriman tapi tidak sesuai dengan kadar iman yang sesungguhnya.

Kita akui bahwa untuk menganilisis sesuatu, apakah baik atau benar, tentunya menggunakan rasio atau  akal sehat. Kadang orang keliru tengtang defenisi mengenai rasionalisasi dan rasionalisme, padahal keduanya itu adalah hal yang berbeda pada proses introduksinya. Jujur saja, saya dan mungkin banyak orang lain di luar sana, adalah salah satu yang sangan membenci yang namanya Rasionalisme-Fanatisme. Karena para penyokong paham ini, tidak membenarkan perihal, yang  ada di eksternal akal. Perlu di catat, kalau kebenaran ilmiah tidak saja terletak pada konsep Rasio. Ada yang terselimpung dalam hal eksternal tapi dianggap ekstentrik kaum rasionalisme. Seperti Berbicara tengtang keimanan dalam suatu agama.

Sesunggunya jikalaulah kita menomorsatukan rasio dan mendiskreditkan kebenaran-kebenaran yang diluar rasio, maka barang tentu kita memparsialkan diri sebagai orang yang egois dan  masih buta dalm konsep mengenai mana semestinya haqq  maupun batil .Mengenai rasionalisasi itulah yang banyak disukai para pemikir kontemporer. Rasionalaisasi adalah mengedepankan metode analisis, dan mengmbangkan apa yang dikaji itu. Patron-patron yang digunakan sangatlah terbedakan dengan rasonalisme, karena tidak tunduk pada sebuah konsep yang pasti, dan  akan tetapi belum tentu itu benar atau bahkan salah. Dengan rasionalisasi tentunya lebih terbuka dalam menanggapi asumsi-asumsi miring, yang senangtiasa mengundang akal untuk berpikir. Apa yang disebut Meta-pysic  akal takkan menyerah untuk merasionalisasikan. Akan ada proliferasi makna, dan kemajuan analisis. Tentunya metode-metode filoshopis yang digunakan untuk menyingkap hal itu. Bagi kaum empirikal hal yang tidak mungkin dipercayai, bahkan saking mirisnya, kalangan mereka melemparkan kritik cadas dan seolah-olah menyalahkan segalanya.

Mengatakan: apa yang diungkapkan oleh kaum fhilosopies  adalah proposisi yang tak bermakna (the propotition thats not to the meaning) atau nir-arti. Dan perbendarahan-perbendarahan katanya hanya terjebak pada dunia utopis. Dengan alasan(kaum empiirkal;sperti:Davi hume,john stuart mill), karena yang mereka katakan tak terindrai. Pertanyaan kaum fhilosospis(feedback) , apakah semua yang bermakna itu harus terindrai pada dasarnya ?  Kan, tidak !

Jadi kalau begitu apakah  yang terbatas oleh indra pada umunya harus dikatakan tidak eksis ataukah tidak bermakna ?

Disinilah kaum empirisisme lumpuh dalam penalarannya. Mengatakan lagi kalau sumber pokok(primer) pengetahuan manusia ada pada pengalaman. Tapi etisnya pengalaman tidak  pernah sempurna mengatasi pengetahuan-pengetahuan yang terlupakan, dan bahkan diluar pengalaman itupun dapat mentransformasikan hal-hal mengenai otoritas pengetahuan primer maupun sekunder. Terkait lagi tengtang fitrah, dalam bentuk pengetahuan terlahir, apakah pada dasarnya manusia sejak lahir memang dibekali pengetahuan?
Jawabannya>>>.......

Allah berfirman:  Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian, kalian tidak mengetahui sesuatu apapun. Dan ia menjadikan bagi  kalian pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.
(Q.S. 16:78)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar