Indonesia
yang sudah 69 tahun merdeka, ternyata masih menyisahkan banyak masalah tengtang
hukum. Tepat perkataan Ir.Soekarno, bapak proklamator Indonesia, “Perjuangan
kami lebih mudah karena melawan para penjajah dan sedangkan perjuangan kalian
sangat sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Artinya apa ? Kita berjuang,
akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri. Lain halnya The Founding
Father, perjuangannya untuk melawan itu jelas, dapat dilihat secara
nyata. Dalam artian, penjajah secara fisik dengan kita, itu sangat berbeda. Contoh
misalnya: korupsi. Siapakah yang melakukan korupsi di Indonesia ? apakah orang
Belanda ? apakah orang inggris ? apakah
orang Jepang ? apakah orang portugis ? tidak. orang itu adalah orang Indonesia
sendiri. Orang yang lahir dan besar di tanah Indonesia. Dan koruptor ini
menjadi musuh bangsa dan negara Indonesia. Jadi, siapa itu musuh yang akan kita
lawan ? yakni bangsa kita sendiri. Orang Indonesia sendiri. Orang yang menghianati
perjuangan suci Ir.Soekarno, Bung Hatta, Syahrir ,Tan Malaka dan para pejuang
lainnya. Perjuangan yang tak mampu terbeli dengan lautan darah kemanusiaan.
Disinlah Hukum tidak lagi menjadi
panglima, tapi menjadi pengikut dan main-mainan para pejabat pemerintah. Tidak
lagi dihormati, tapi diabaikan.
Hukum
antara daulat dan Kepentingan Politik
Sekarang
banyak orang yang mengatakan dalam konteks perpolitikan di Indonesia, “tidak
jelas mana kawan mana lawan”. Saya berikan istilah “relatifitas realitas
politik”. Dan itu justru berpengaruh pada dunia penegakan hukum. Hukum
seringkali melakukan perselingkuhan dengan kepentingan politik. Perselingkuhan
yang melahirkan anak HARAM. Anak yang tidak direstui kelahirannya. Dan kalau
bisa itu mutlak untuk dibunuh dan dibinasakan kehadirannya di dunia ini. Anak
yang serasa melahirkan ketidakadilan yang sungguh menyakitkan. Tuhan pun akan
sangat marah dan murkah...ketika melihat anak yang dilahirkan oleh
perselingkuhan hukum dan politik. Anak yang menjadi bahan olok-olokan para justisiabelen
(pencari keadilan).
Kita
semuanya tahu bahwa hukum adalah produk politik. Semua peraturan yang ada itu
berasal dari politik. Sehingga ketika ada peraturan yang dibuat, itu pasti dan
pasti ada upaya intervensi daripada political interest (kepentingan
politik). Di Indonesia misalnya, DPR yang memiliki fungsi legislasi, yakni membuat
UU. Secara nyata, orang-orang yang menjadi anggota DPR itu adalah anggota
partai politik pula. Tidak menutup kemungkinan dalam proses pembutan UU, itu
sarat akan kepentingan politik yang akan mengancam proporsionalitas hukum.
Hukum tidak lagi netral, tapi telah berpihak pada satu kepentingan tertentu. Di
sinilah saya katakan HUKUM kehilangan ruh dan mengalami disorientasi.
Dalam
konteks inilah, para Mahasiswa Hukum seharusnya mempertanyakan kedaulatan hukum
yang ada di Indonesia. Jangan acuh tak acuh melihat dinamika hukum yang ada. Karena
hukum akan selalu beriringan dengan dinamika politik. Indonesia merupakan
negara hukum (rechstaat), yang mana sejatinya hukum harus menjadi
panglima (command). Meskipun hukum merupakan produk politik, hukum tidak
boleh diombang-ambingkan oleh berbagai macam kepentingan politik. Dan ketika
hukum diombang-ambingkan oleh political interest , maka yakin dan
percaya hukum tidak lagi berdaya. Atau kita menyaksikan kematian hukum yang
sesungguhnya. Dan sungguh kemunafikan telah menjadi pemanis, ketika kita mengatakan
ada KEDAULATAN HUKUM ditengah pusaran KEPENTINGAN POLITIK.
Kedaulatan
hukum dalam negara hukum
Akhir-akhir
ini, permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia semakin banyak jumlahnya. Dan
semakin rumit menyelesaikannya. Masalah hukum yang tidak lagi murni masalah
hukum. kenapa ? hukum berada dalam pusaran kepentingan politik. Pemangku tinggi
jabatan lembaga hukum, sekarang ini menghadapi bencana dan cobaan yang sangat
luar biasa. Satu persatu penegak hukum dikuliti habis-habisan. Sampai-sampai
kasus lama diungkit-ungkit kepermukaan. Inilah realitas hukum sekaligus
realitas sarat kepentingan politik.
Orang
bijak mengatakan, “ jikalau hukum telah bercampur dengan kepentingan politik
maka tidak ada lagi kedaulatan hukum yang sesungguhnya”. Yang ada adalah
kekacauan hukum. yang kita lihat sekarang ini di tv-tv, itu adalah disorientasi
penegakan hukum. Tidak jelas arahnya mau ke mana, dan mungkin juga dia tidak
tau, diberada di mana. Itu yang lebih parah.
Poin
penting yang saya simpulkan disini adalah, hukum tidak akan berdaulat seutuhnya
jika masih berada dalam bayang-bayang kepentingan politik. Apalagi melakukan
perselingkuhan dengan kepentingan politik. Hukum dan politik memang tidak dapat
dipisahkan, tapi tidak boleh dicampuradukkan. Ingat, kita sangat
memprioritaskan kedaulatan hukum karena kita adalah negara hukum. bukan negara
politik.
Febri
Ramadhani
Mahasiswa
Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar