Rabu, 29 April 2015

Hadirmu Akhir-akhir ini Bungaku....





































Rasanya tak tercakapkan secara indrawi
Apa yang aku rasakan mungkin juga kau rasakan,
Yah, semoga...
Ya, Kuharap

Kau begitu indah, bagaikan sosok bunga tercantik di dunia
Kau mampu menghibur semua lelaki dengan senyum manismu,
Dan dengan kelebihanmu yang tak setara dengan wanita sepertimu
Kau memang tak sempurna di mataku, aku tak bisa memungkiri itu.

Kesempurnaan hanya milik-Nya
Tapi dengan rasaku dan rasioku aku tidak bisa juga menafikkan,
Bahwa kesempurnaan juga ada dalam dirimu bungaku....
Tapi...apabila dirimu menyatu dengan diriku...!

Siang malam menjadi ruang kehadiranmu,
Hadir dalam mimpi, hadir dalam bentuk fisik dan non-fisik.
Kehadiranmu dalam fenomena dan nomena menghiburku.
Aku harap, dengan puisi ini kita tuntas mengarungi hidup bungaku...

Aku bergetar, saat menatap. Dilema dan kecewa.
Keras, terbentur dari dari hati yang terdalam, sungguh dalam....
Semuanya aku sadari, aku mengikhlaskan
Kau telah termiliki bungaku...!!!

Sejak itulah aku bernafas tanpa sadar akan hembusan nafas.
Kepala seolah tidak ada, tapi kenapa rasanya begitu berat dan berbeban ?
Itu karena dirimu bungaku.
Dirimu, hadirmu, ragamu, jiwamu yang termiliki bukan olehku.

Di situlah aku mengikhlaskan ragamu, tapi tidak dengan jiwamu.
Bagiku, pantang bunga yang ku dekap adalah sisa-sisa laki-laki lain
Tapi selama bukan sisa, aku terbuka mendekapmu bunga.
Ingat, selama bukan sisa.

Rabu, 22 April 2015

Imajinasiku menanyakan pendidikan


Tepatkah Imajinasiku ? Pendidikan itu penuh warna....
Di mana orang bisa bermimpi, berkreasi sebebasnya sesuai kemampuannya
Pendidikan itu untuk semua orang dan semua kalangan tanpa diskriminasi,
Ternyata beda dalam realitas ? Anomali....

Pendidikan adalah inti, sekaligus urat nadi peradaban ummat manusia
Tujuannya memanusiakan manusia ?
Manusia yang tidak hanya cerdas akal tapi juga cerdas spiritual.
Pendidikan harus mencetak orang-orang bijak dalam bertutur kata
Apalagi bijak dalam perbuatannya.

apakah karena pendidikan orang menjadi rakus dan tamak bahkan koruptor ?
ya, ketika pendidikan tidak mengajarkan nilai-nilai moralitas.
ketika pendidikan hanya menggariskan tinta materialisme ....
Ambang batas keberhasilan pendidikan adalah hasil dan proses.
Bukan salah satunya. Ingat itu !

Oh...Tuhan,
Aku kira pendidikan mengajarkan kejujuran,
tapi semua itu dapat dibeli karena iming-iming materi.
Orang kaya ingin semakin kaya, seolah tidak ada mati !

Seolah aku menatap pendidikan dengan kacamata buram,
Jelas, objeknya memang buram. Faktanya begitu...
Pendidikan bukan lahan komersialisasi
Pendidikan kita masih perlu berbenah !


Selasa, 14 April 2015

Demokrasi Indonesia: Dalam Masalah Kebebasan Beragama, Berpendapat, Berserikat dan Kebebasan Pers.


Demokrasi adalah sebuah sistem yang berlaku di negara tercinta kita ini. Negara Indonesia namanya. Bukan naif, bukan justkidding, itu fakta. Kita menerapkan sistem demokrasi sudah bertahun-tahun lamanya.

Pertanyaan sederhananya, apa itu demokrasi ? mengapa kita harus berdemokrasi ? mengapa kita menerapkan sistem demokrasi ?

Demokrasi adalah sebuah sistem. Ingat sistem. Bukan tujuan. Bukan pula tujuan bernegara.  Tapi dengan demokrasi kita berharap dapat membumikan tujuan berbangsa dan bernegara kita. Dengan demokrasi kita berharap cita-cita kebangsaan dapat menjadi realitas.

Abraham Lincoln mengatakan, democracy is by the people, from the people and to the people. Artinya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dalam bahasa konstitusionalnya, pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi adalah rakyat. Jadi yang berkuasa sebenarnya adalah rakyat, meskipun secara kontekstualisasi berbangsa dan bernegara, rakyat terwakili oleh orang-orang tertentu yang telah dipilihnya.

Perjalanan bangsa Indonesia selama 69 tahun sudah, menyisahkan banyak pertanyaan kritis dan  terus menyisahkan tanda tanya yang belum tersingkap jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik kaum intelektual.

Demokrasi dan kebebasan beragama
Negara Indonesia secara konstitusional, hanya mengakui enam (6) agama. Artinya agama yang resmi di Indonesia. Yakni, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. Bagaimana dengan agama-agama yang lainnya ?

Apakah dengan pegakuan 6 agama tersebut memarjinalkan agama yang lain ? karena masih banyak agama-agama di Indonesia yang tersebar sampai ke pelosok daerah sampai daerah perkotaan.

Bagaimana sebenarnya kebebasan beragama itu ? Saya pikir di Indonesia belum sepenuhnya menerapkan “kebebasan beragama”. Sedangkan kebebasan beragama itu di dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam pasal 28 E ayat (1) menjadi dasar hukum atas kebebasan beragama. Orang terserah, mau beragama apa,  berkeyakinan apa, beraliran apa, beribadat apa, dan lain sebagainya. Karena itu adalah hak mereka. Dan negara harus menjamin kebebasan beragama seutuhnya. Bukan secara parsial belaka.

Contoh konkrit dalam kebebasan beragama, pluralitas sosial dan pluralitas keber”agama”an. Agama menjadi way of life masyrakat. Terserah pilih yang mana.Asalakan jangan melabrak aturan hukum dengan alasan “kebebasan beragama”.

Konflik Ahmadiyah misalnya dengan golongn tertentu, di mana ahmadiyah di serang, bahkan masjid mereka dibakar. Mereka diusir dengan alasan bertengtangan dengan agama yang lain. Dalam bahasa sosialnya “menyimpang”.

Kebebasan Berpendapat, kebebasan berserikat dan kebebasan pers.
Dalam perjalanan sejarah demokrasi Indonesia, terdapat zaman yang menjadi penjara bagi semua rakyat pada saat itu. Zaman apa ...? zaman orde baru. Atau disebut era orde baru. Era di mana militer berkuasa secara sesukanya. Militer menjadi alat untuk menindas dan meyiksa rakyat.

Demokrasi menjadi label pemanis kediktatoran. Pahit dari segala pahit. Bayangkan saja, Soeharto menjabat sebagai presiden Indonesia pada saat itu selama 32 tahun. Sejak saman itulah pahit dari segala pahit rakyat Indonesia rasakan.

Kebebasan berpendapat tidak ada. Dalam bahasa kasarnya “rakyat, dikunci mulutnya, diikat kakinya. Siapa yang membantah akan dipenjara. Siapa yang memberontak demi keadilan, akan diculik. Siapa yang bersebranagn secara politik, maka dituduh subversif. Itu fakta. Sejarah menjawab semua itu.

Banyak orang-orang kritis dibungkam, hingga tak mampu berbicara apapun. Kalau kembali berbicara, maka malamya dijemput penembak misterius. Dalam artian, mereka mati tanpa sebab yang jelas.

Setiap orang yang mengeluarkan pendapat akan bungkam. Bahkan dibunuh. Lihat saja kasus 1998. Mahasiswa yang menggelar aksi freedom of expression dibantai oleh militer. Sehingga tidak sedikit mahasiswa meninggal dunia pada saat itu
.
Kebebasan berserikat (Pasal 28 E ayat 3)
Belum lagi kebebasan berserikat. Bagaimana kebebasan berserikat pada saat itu ? organisasi-organisasi yang bersebrangan dengan pemerintah harus dimusnahkan. Banyak tokoh-tokoh oraganisasi pada saat itu dipenjarakan tanpa alasan hukum yang jelas. Baru kemudian di era BJ.Habibie oraganisasi bermunculan satu per satu. Karena telah dijamin kebebasan berpendapat.
Kebabasan pers.

Terkait dengan kebebasan pers, ada senuah kata yang menjadi andalan para kawan-kawan wartawan, “lebih baik hidup tanpa negara daripada hidup tanpa pers”

Memang kalau kita kembali membaca sejarah orde baru, seolah kita terlanjur menelan pil pahit dalam rongga-rongga tenggorokan. Pers pada saat itu lagi-lagi dibungkam. Pers diborgol. Wartawan “dikunci mulutnya, diikat kakinya”. Kalau melawan dicekik lehernya.

Itu orde baru, bagaimana dengan era reformasi ? saya pikir, kebebasan pers di era reformasi ini kebablasan. Mengalami diorientasi. Pers yang seharusnya menjadi netral, diantara beberapa pihak, ternyata memihak. Itu yang saya katakan kebablasan dan disorientasi.

Lihat saja, bagaimana lembaga pers dengan jelas telah ditunggangi kepentingan politik. Pers menjadi alat untuk menjalankan kepentingan politik dengan cara berita “palsu” atau berita memihak.

Misalnya TV-TV di Indonesia ini adalah mayoritas milik pejabat partai atau petugas partai. Secara otomatis akan berpengaruh terhadap netralitas dan indpendensi pers. Inilah yang membuat masyarakat bingung, mana informasi yang benar...?

Pers memang harus diberi kebebasan, tapi jangan sampai kebebasan tanpa kendali, kebebasan yang sebebas-bebasnya. Apalagi kebebasan tanpa pengawasan.