Demokrasi
adalah sebuah sistem yang berlaku di negara tercinta kita ini. Negara Indonesia
namanya. Bukan naif, bukan justkidding, itu fakta. Kita
menerapkan sistem demokrasi sudah bertahun-tahun lamanya.
Pertanyaan
sederhananya, apa itu demokrasi ? mengapa kita harus berdemokrasi ? mengapa
kita menerapkan sistem demokrasi ?
Demokrasi
adalah sebuah sistem. Ingat sistem. Bukan tujuan. Bukan pula tujuan
bernegara. Tapi dengan demokrasi kita
berharap dapat membumikan tujuan berbangsa dan bernegara kita. Dengan demokrasi
kita berharap cita-cita kebangsaan dapat menjadi realitas.
Abraham
Lincoln mengatakan, democracy is by the people, from the people and to the
people. Artinya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam
bahasa konstitusionalnya, pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi adalah
rakyat. Jadi yang berkuasa sebenarnya adalah rakyat, meskipun secara
kontekstualisasi berbangsa dan bernegara, rakyat terwakili oleh orang-orang
tertentu yang telah dipilihnya.
Perjalanan
bangsa Indonesia selama 69 tahun sudah, menyisahkan banyak pertanyaan kritis
dan terus menyisahkan tanda tanya yang
belum tersingkap jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik kaum
intelektual.
Demokrasi
dan kebebasan beragama
Negara
Indonesia secara konstitusional, hanya mengakui enam (6) agama. Artinya agama
yang resmi di Indonesia. Yakni, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha,
Konghucu. Bagaimana dengan agama-agama yang lainnya ?
Apakah
dengan pegakuan 6 agama tersebut memarjinalkan agama yang lain ? karena masih banyak
agama-agama di Indonesia yang tersebar sampai ke pelosok daerah sampai daerah
perkotaan.
Bagaimana
sebenarnya kebebasan beragama itu ? Saya pikir di Indonesia belum sepenuhnya
menerapkan “kebebasan beragama”. Sedangkan kebebasan beragama itu di dalam Hak
Asasi Manusia (HAM). Dalam pasal 28 E ayat (1) menjadi dasar hukum atas
kebebasan beragama. Orang terserah, mau beragama apa, berkeyakinan apa, beraliran apa, beribadat
apa, dan lain sebagainya. Karena itu adalah hak mereka. Dan negara harus menjamin
kebebasan beragama seutuhnya. Bukan secara parsial belaka.
Contoh
konkrit dalam kebebasan beragama, pluralitas sosial dan pluralitas
keber”agama”an. Agama menjadi way of life masyrakat. Terserah pilih yang
mana.Asalakan jangan melabrak aturan hukum dengan alasan “kebebasan beragama”.
Konflik
Ahmadiyah misalnya dengan golongn tertentu, di mana ahmadiyah di serang, bahkan
masjid mereka dibakar. Mereka diusir dengan alasan bertengtangan dengan agama
yang lain. Dalam bahasa sosialnya “menyimpang”.
Kebebasan
Berpendapat, kebebasan berserikat dan kebebasan pers.
Dalam
perjalanan sejarah demokrasi Indonesia, terdapat zaman yang menjadi penjara
bagi semua rakyat pada saat itu. Zaman apa ...? zaman orde baru. Atau disebut
era orde baru. Era di mana militer berkuasa secara sesukanya. Militer menjadi
alat untuk menindas dan meyiksa rakyat.
Demokrasi
menjadi label pemanis kediktatoran. Pahit dari segala pahit. Bayangkan saja,
Soeharto menjabat sebagai presiden Indonesia pada saat itu selama 32 tahun.
Sejak saman itulah pahit dari segala pahit rakyat Indonesia rasakan.
Kebebasan
berpendapat tidak ada. Dalam bahasa kasarnya “rakyat, dikunci mulutnya, diikat
kakinya. Siapa yang membantah akan dipenjara. Siapa yang memberontak demi
keadilan, akan diculik. Siapa yang bersebranagn secara politik, maka dituduh
subversif. Itu fakta. Sejarah menjawab semua itu.
Banyak
orang-orang kritis dibungkam, hingga tak mampu berbicara apapun. Kalau kembali
berbicara, maka malamya dijemput penembak misterius. Dalam artian, mereka mati
tanpa sebab yang jelas.
Setiap
orang yang mengeluarkan pendapat akan bungkam. Bahkan dibunuh. Lihat saja kasus
1998. Mahasiswa yang menggelar aksi freedom of expression dibantai oleh
militer. Sehingga tidak sedikit mahasiswa meninggal dunia pada saat itu
.
Kebebasan
berserikat (Pasal 28 E ayat 3)
Belum
lagi kebebasan berserikat. Bagaimana kebebasan berserikat pada saat itu ?
organisasi-organisasi yang bersebrangan dengan pemerintah harus dimusnahkan.
Banyak tokoh-tokoh oraganisasi pada saat itu dipenjarakan tanpa alasan hukum
yang jelas. Baru kemudian di era BJ.Habibie oraganisasi bermunculan satu per
satu. Karena telah dijamin kebebasan berpendapat.
Kebabasan
pers.
Terkait
dengan kebebasan pers, ada senuah kata yang menjadi andalan para kawan-kawan
wartawan, “lebih baik hidup tanpa negara daripada hidup tanpa pers”
Memang
kalau kita kembali membaca sejarah orde baru, seolah kita terlanjur menelan pil
pahit dalam rongga-rongga tenggorokan. Pers pada saat itu lagi-lagi dibungkam.
Pers diborgol. Wartawan “dikunci mulutnya, diikat kakinya”. Kalau melawan
dicekik lehernya.
Itu
orde baru, bagaimana dengan era reformasi ? saya pikir, kebebasan pers di era
reformasi ini kebablasan. Mengalami diorientasi. Pers yang seharusnya menjadi
netral, diantara beberapa pihak, ternyata memihak. Itu yang saya katakan
kebablasan dan disorientasi.
Lihat
saja, bagaimana lembaga pers dengan jelas telah ditunggangi kepentingan
politik. Pers menjadi alat untuk menjalankan kepentingan politik dengan cara
berita “palsu” atau berita memihak.
Misalnya
TV-TV di Indonesia ini adalah mayoritas milik pejabat partai atau petugas
partai. Secara otomatis akan berpengaruh terhadap netralitas dan indpendensi
pers. Inilah yang membuat masyarakat bingung, mana informasi yang benar...?
Pers
memang harus diberi kebebasan, tapi jangan sampai kebebasan tanpa kendali, kebebasan
yang sebebas-bebasnya. Apalagi kebebasan tanpa pengawasan.