Rabu, 21 Oktober 2015

Tanpa Maksiat

Hari-hari ini telah jauh terpancing dengan maksiat
membelenggu kesesatan hidup
kuingin hidupku dimaknai dengan keIslaman,
keindahan yang sesuai dengan agamaku yang sempurna
tidak mungkin agamaku melarang MAKSIAT kalau memang itu baik ?
kenapa harus dilarang ?
karena memang tidak baik
laksana cahaya ilmu yang ingin menembus dinding-dinding hidupku,
maksiat adalah penghalang tembusnya cahaya itu.
Tuhan,...
kuingin masa mudaku jauh dari maksiat,
kau hindarkan dari kesesatan hidup
belenggu hidup
ku mau seorang perempuan....
Perempuan shaleh yang kelak melahirkan anak-anak dengan kesucian lahir dan batin

Perempuan yang masa mudanya tanpa MAKSIAT.

KEKUASAAN DAN KORUPSI POLITIK


Semangat untuk memberantas pelaku korupsi politik dalam suatu kekuasaan menjadi urat nadi dalam gerakan anti korupsi. Tidak bisa dipungkiri, hukum telah mencerminkan wajah yang murung dan bersedih ketika menatap menengadah ke atas langit. Masih banyaknya kasus korupsi yang menggerogoti kekuasaan, itu adalah bukti otentik adanya korupsi politik.Korupsi yang bercokol pada dimensi kekuasaan. 

Perilaku kejahatan (criminal) seperti inilah yang membuat masyarakat GEGANA “gelisa galau merana”. Dalam proses dinamika berbangsa dan bernegara, mungkin ada orang yang mengatakan ini adalah step by step menuju kesejahtraan, tapi bagi saya ini adalah proses menuju pada kehancuran bernegara. Negara “tersiksa” dulu baru berbahagia. Dalam pepatah lain, “berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”

Persepsi kekuasaan yang terbangun dalam mindset masyarakat adalah kewenangan untuk melakukan sesuatu dan sah secara konstitusional. Tapi masyarakat tidak tahu menahu bagaimana menjalankan kekuasaan tersebut ? yang mereka tahu hanyalah jabatan dan kekuasaan.
            
Realitas yang sering diperbincangkan para intelektual hukum, terkait dengan relasi kekuasaan dan korupsi politik. Ada apa dengan kekuasaan ? dengan “kuasa” orang berhak untuk bertindak secara konstitusional begitupun secara inkonstitusional (bertengtangan dengan konstitusi). Untunglah negara kita negara hukum (rechtstaat), bukannya negara kekuasaan (machtstaat). Tetapi yang celaka lagi ketika kewenangan yang yang merugikan rakyat, justru dilegalisasi atau sahkan secara konstitusional.

Seorang Filsuf  Lord Acton pernah berkata “Power tends to corrupt absolut power corrupt absolutely”. Kekuasaan cenderung menyeleweng, kekuasaan mutlak pasti melakukan penyelwengan. itulah menurut Lord Acton. Di mana pada dasarnya memang kekuasaan memungkinkan akan adanya penyelewengan. Perjalanann sejarah Indonesia, sejak kemerdekaan sampai pada masa orde baru, abuse of power sangat jelas terbaca. Terdapat banyak sekali korupsi-korupsi kekuasaan dan korupsi politik yang terjadi. Tapi apa daya ? penegak hukum lumpuh berjalan untuk mengatasi permasalahn hukum tersebut.

Dalam sejarah dunia, banyak terjadi revolusi karena kekuasaan mutlak (absolute) dan maraknya korupsi kekuasaan dan korupsi politik. Bobroknya regulasi hukum dalam suatu negara menjadi faktor utama terjadi semua hal ini. Senada dan seirama realitas sejarah tersebut, seorang ahli hukum dunia, Lawrent Friedment (buku:philosofy of law) mengungkapkan, ada tiga faktor yang berperan penting dalam penegakan hukum. Yang kemudian penulis kontekstualisasikan dengan realitas sosial.

Yang pertama adalah Struktur. Dalam hal ini struktur adalah law enforchement Officer. Orang-orang yang berada dalam institusi hukum. Penegak-penegak hukum. Dalam konteks terjadinya korupsi kekuasaan dan politik itu karena faktor law enforcement officer. Lemahnya orang-orang yang terlibat dalam law enforcement process (penegakan hukum). Dan kemungkinan lainnya adalah kongkalikong antara pemegang kuasa dengan aparat hukum.

Yang kedua adalah Kultur. Dalam hal ini kultur (budaya), menjadi hal yang berpengaruh pula dalam penegakan hukum. Kenapa ? budaya “amplop” yang dianggap lazim dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjadi troble maker dalam hukum. Konkritisasinya adalah perilaku suap menyuap. Budaya sogok-menyogok dalam pemilu (pemilihan umum), itu dianggap biasa-biasa saja. Di mana dalam momen-momen pesta demokrasi, uang bergentayangan demi satu suara. Bahkan ekstremnya lagi satu suara dapat dihargai Rp 50.000.00-,. Padahal secara tidak sadar, budaya seperti itulah yang mendasari korupsi politik.

Yang ketiga adalah subtansi (Undang-undang). Peraturan hukum atau perundang undang-undangan yang ada tidak kuat (lemah). Undang-undang yang seharusnya menjadi patron urgent dalam proses penegakan hukum, seharusnya tidak lemah apalagi absurd. Harus mengandung norma yang jelas dan agar tidak ada lagi kekaburan norma.

Itulah yang seringkali “lalai” kita lazimkan munculnya permasalahn hukum. Justru yang kita anggap biasa-biasa saja, malah yang menjadi dasar dari setiap kebobrokan hukum yang terjadi. Masalah kekuasaan dan korupsi politik tidak hanya boleh dipandang sebagai masalah besar tanpa melihat akar-akar permasalahnya.