Semangat untuk
memberantas pelaku korupsi politik dalam suatu kekuasaan menjadi urat nadi
dalam gerakan anti korupsi. Tidak bisa dipungkiri, hukum telah mencerminkan
wajah yang murung dan bersedih ketika menatap menengadah ke atas langit. Masih
banyaknya kasus korupsi yang menggerogoti kekuasaan, itu adalah bukti otentik
adanya korupsi politik.Korupsi yang bercokol pada dimensi kekuasaan.
Perilaku
kejahatan (criminal) seperti inilah yang membuat masyarakat GEGANA
“gelisa galau merana”. Dalam proses dinamika berbangsa dan bernegara, mungkin
ada orang yang mengatakan ini adalah step by step menuju kesejahtraan,
tapi bagi saya ini adalah proses menuju pada kehancuran bernegara. Negara
“tersiksa” dulu baru berbahagia. Dalam pepatah lain, “berakit-rakit ke hulu
berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”
Persepsi kekuasaan
yang terbangun dalam mindset masyarakat adalah kewenangan untuk
melakukan sesuatu dan sah secara konstitusional. Tapi masyarakat tidak tahu
menahu bagaimana menjalankan kekuasaan tersebut ? yang mereka tahu hanyalah
jabatan dan kekuasaan.
Realitas yang
sering diperbincangkan para intelektual hukum, terkait dengan relasi kekuasaan
dan korupsi politik. Ada apa dengan kekuasaan ? dengan “kuasa” orang berhak
untuk bertindak secara konstitusional begitupun secara inkonstitusional (bertengtangan
dengan konstitusi). Untunglah negara kita negara hukum (rechtstaat),
bukannya negara kekuasaan (machtstaat). Tetapi yang celaka lagi ketika
kewenangan yang yang merugikan rakyat, justru dilegalisasi atau sahkan secara
konstitusional.
Seorang
Filsuf Lord Acton pernah berkata “Power
tends to corrupt absolut power corrupt absolutely”. Kekuasaan cenderung
menyeleweng, kekuasaan mutlak pasti melakukan penyelwengan. itulah menurut Lord
Acton. Di mana pada dasarnya memang kekuasaan memungkinkan akan adanya
penyelewengan. Perjalanann sejarah Indonesia, sejak kemerdekaan sampai pada
masa orde baru, abuse of power sangat jelas terbaca. Terdapat banyak
sekali korupsi-korupsi kekuasaan dan korupsi politik yang terjadi. Tapi apa
daya ? penegak hukum lumpuh berjalan untuk mengatasi permasalahn hukum
tersebut.
Dalam sejarah
dunia, banyak terjadi revolusi karena kekuasaan mutlak (absolute) dan
maraknya korupsi kekuasaan dan korupsi politik. Bobroknya regulasi hukum dalam
suatu negara menjadi faktor utama terjadi semua hal ini. Senada dan seirama
realitas sejarah tersebut, seorang ahli hukum dunia, Lawrent Friedment (buku:philosofy
of law) mengungkapkan, ada tiga faktor yang berperan penting dalam
penegakan hukum. Yang kemudian penulis kontekstualisasikan dengan realitas
sosial.
Yang pertama adalah
Struktur. Dalam hal ini struktur adalah law enforchement Officer. Orang-orang
yang berada dalam institusi hukum. Penegak-penegak hukum. Dalam konteks
terjadinya korupsi kekuasaan dan politik itu karena faktor law enforcement
officer. Lemahnya orang-orang yang terlibat dalam law enforcement
process (penegakan hukum). Dan kemungkinan lainnya adalah kongkalikong
antara pemegang kuasa dengan aparat hukum.
Yang kedua
adalah Kultur. Dalam hal ini kultur (budaya), menjadi hal yang berpengaruh pula
dalam penegakan hukum. Kenapa ? budaya “amplop” yang dianggap lazim dalam
kehidupan masyarakat Indonesia menjadi troble maker dalam hukum.
Konkritisasinya adalah perilaku suap menyuap. Budaya sogok-menyogok dalam
pemilu (pemilihan umum), itu dianggap biasa-biasa saja. Di mana dalam
momen-momen pesta demokrasi, uang bergentayangan demi satu suara. Bahkan
ekstremnya lagi satu suara dapat dihargai Rp 50.000.00-,. Padahal secara tidak
sadar, budaya seperti itulah yang mendasari korupsi politik.
Yang ketiga
adalah subtansi (Undang-undang). Peraturan hukum atau perundang undang-undangan
yang ada tidak kuat (lemah). Undang-undang yang seharusnya menjadi patron
urgent dalam proses penegakan hukum, seharusnya tidak lemah apalagi absurd.
Harus mengandung norma yang jelas dan agar tidak ada lagi kekaburan norma.
Itulah yang
seringkali “lalai” kita lazimkan munculnya permasalahn hukum. Justru yang kita
anggap biasa-biasa saja, malah yang menjadi dasar dari setiap kebobrokan hukum
yang terjadi. Masalah kekuasaan dan korupsi politik tidak hanya boleh dipandang
sebagai masalah besar tanpa melihat akar-akar permasalahnya.